Indonesia tengah digugat Uni Eropa mengenai larangan ekspor bijih nikel di Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO. Terdapat beberapa konsekuensi yang akan terjadi jika Indonesia kalah dari Uni Eropa di WTO.
Direktur Center of Economic and Law Studies atau Celios, Bhima Yudhistira Adhinegara, mengatakan bahwa pemerintah Indonesia harus membayar kompensasi jika kalah dalam gugatan di WTO. "Jumlah kompensasi tersebut nilainya tidak kecil," kata Bhima kepada Katadata.co.id, Jumat (9/9).
Selain kompensasi, implementasi hasil gugatan WTO berkorelasi dengan dibukanya kembali kran ekspor bijih nikel ke perusahaan di Eropa. Kondisi tersebut secara tidak langsung akan berdampak pada daya tarik investasi, terutama perusahaan Cina di proyek smelter.
"Meskipun ada rentang waktu pembukaan bijih nikel tapi keputusan membuka ekspor bijih nikel sebenarnya blunder bagi daya tarik investasi terutama perusahaan Cina di proyek smelter. Karena 50% lebih penguasaan smelter nikel di Indonesia oleh investor Cina," ujarnya.
Implementasi hasil gugatan WTO juga akan berdampak pada ekosistem industri kendaraan listrik. Investor kendaraan listrik akan mempertimbangkan kembali untuk membangun ekosistem di tanah air jika Indonesia masih impor baterai.
"Mereka akan cari produsen bahan hilirisasi nikel yang siap. Aneh saja, kalau Indonesia kaya nikel, tapi hub industri pengolahan nikel nya di luar negeri," tuturnya.
Sebelumnya Presiden Joko Widodo atau Jokowi menginggung tentang gugatan Uni Eropa ke WTO. Jokowi mengatakan tidak masalah Indonesia digugat pada WTO. Bahkan, ia juga tak mempermasalahkan apabila Indonesia kalah dalam gugatan itu.
"Kalau kalah ya tidak apa-apa. Industrinya sudah jadi," kata Jokowi.
Indonesia menghentikan ekspor komoditas mentah, salah satunya ekspor nikel mentah sejak 2020. Langkah itu mengundang gugatan dari Uni Eropa melalui Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Jokowi mengatakan tidak masalah Indonesia digugat pada WTO. Bahkan, ia juga tak mempermasalahkan apabila Indonesia kalah dalam gugatan itu.
Ia menilai, langkah menghentikan ekspor memberikan nilai tambah produk dalam negeri. Selain itu, pendapatan negara juga akan meningkat. Pada tujuh tahun yang lalu, ekspor nikel hanya mencapai US$ 1,1 miliar. Lalu pada 2021, ekspor nikel sudah mencapai US$ 20,9 miliar.
"Lompatannya 19 kali. Untuk itu, ia meminta pemerintah tidak takut dalam menghentikan ekspor komoditas mineral," ujarnya.
Adapun, Jokowi berencana menghentikan ekspor bauksit dan tembaga pada tahun depan.
Sementara itu, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia tak ambil pusing perihal kemungkinan Indonesia kalah dalam gugatan yang dilayangkan Uni Eropa di WTO. Bahlil mengatakan, Indonesia harus tetap berdaulat demi proyek hilirisasi nikel.
"Tak ada masalah kalau Eropa menang, kita buat aturan baru lagi, yang jelas kita buat kebijakan untuk melakukan hilirisasi yang maksimal di Indonesia," kata Bahlil pada Kamis (8/9).
Bahlil menambahkan, hal tersebut juga tak akan berpengaruh besar kepada rencana pemerintah yang sedang merintis industri baterai dan kendaraan listrik. Dia juga meminta kepada sejumlah negara penggugat untuk bisa menghargai perencanaan pengembangan ekonomi di masing-masing negara.
"Harusnya semua negara menghargai kedaulatan masing-masing negara dan harus menghargai perencanaan pengembangan ekonomi dari masing-masing negara. Gak boleh lagi ada negara yang merasa hebat dibanding negara lain," katanya.
International Energy Agency (IEA) menyatakan nikel merupakan bahan baku penting bagi industri baterai kendaraan listrik serta pembangkitan energi geotermal. Permintaan nikel di pasar global pun diproyeksikan akan terus meningkat, seiring dengan penguatan tren energi baru-terbarukan (EBT).
"Permintaan nikel untuk teknologi energi bersih akan berkembang pesat hingga 20 kali lipat selama periode 2020 sampai 2040," prediksi IEA dalam laporan Southeast Asia Energy Outlook 2022.