Badan Pengawas Obat dan Makanan atau BPOM mengakui tidak mengawasi impor propilen glikpol (PG) dan polietilen glikol (PEG) yang menjadi bahan pelarut obat sirop di Indonesia. Pasalnya, bahan pelarut ini digunakan oleh industri lainnya seperti pelarut cat dan kimia.
Kepala BPOM, Penny K Lukito, mengatakan industri farmasi seharusnya bisa mengimpor bahan baku obat jika sudah mendapatkan Surat Keterangan Impor atau SKI dari BPOM. Namun demikian, bahan pelarut seperti PG dan PEG selama ini diimpor tidak memerlukan SKI.
Penny mengatakan, impor bahan pelarut tersebut selama ini masuk melalui kebijakan non lartas atau larangan dan pembatasan. akibat tidak diawasi, sejumlah obat sirop tercemar dan diduga menjadi penyebab gangguan ginjal akut pada anak.
“Bahan baku obat aktif lainnya, pada umumnya masuk melalui SKI BPOM, namun khusus pelarut PG dan PEG ini masuk tidak melalui SKI badan POM, tapi masuk melalui Kementerian Perdagangan melalui non-larangan dan pembatasan,” ujar Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K Lukito saat Rapat Kerja Komisi IX DPR RI, Jakarta, Rabu (2/11).
Penny mengatakan bahwa bahan kimia yang diimpor untuk pembuatan obat seharusnya masuk dalam kategori pharmaceutical grade yang mengharuskan pemurnian tinggi. Dengan demikian, cemaran bisa hilang dari pelarut PG dan PEG.
“Tapi kalau dia tidak pharmaceutical grade, kita tidak pernah tahu berapa konsentrasi dari pencemar-pencemar yang ada. Perbedaan harga yang sangat tinggi inilah yang bisa membuat penggunaan yang ilegal bisa terjadi. Ini yang akan terus kami telusuri,” ujar Penny.
Disalahgunakan Oknum Farmasi
Penny mengatakan, seharusnya khusus untuk pharmaceutical grade dapat masuk kedalam SKI BPOM. Jika impor tersebut tanpa SKI BPOM, maka bisa dimanfaatkan oleh oknum perusahaan farmasi.
Menurut Penny, BPOM sudah menentukan cara produksi dan pengedaran obat yang baik. Salah satunya melaporkan ke BPOM apabila melakukan perubahan bahan baku. Namun demikian, hal itu diduga tidak dilakukan oleh sejumlah perusahaan farmasi.
“Kami bersama kepolisian menelusuri sampai ke pihak importing dan distributor. Larutan ini sampai ke industri farmasi yang kami temukan telah melakukan pelanggaran. Itu memang ada indikasi kesengajaan dalam penggunaan, atau perubahan pada sumber bahan baku yang tidak dilaporkan,” ujar Penny.
Menurut Penny, sebaiknya impor PG dan PEG untuk industri farmasi dalam negeri dipisahkan dengan yang akan digunakan oleh industri non-farmasi.
Mengutip data The Observatory of Economic Complexity (OEC), pada tahun 2020 Indonesia mengimpor bahan kimia jenis etilen glikol senilai US$147 juta. Ini menjadikan Indonesia sebagai negara pengimpor etilen glikol terbesar ke-9 di skala global.