Pemerintah berencana memberikan subsidi untuk pembelian mobil listrik dan motor listrik agar mendorong minat masyarakat beralih menggunakan kendaraan bebas emisi. Bantuan juga hendak ditujukan bagi konversi motor BBM menjadi motor listrik,
Namun Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) menilai rencana pemberian subsidi ini akan membebani keuangan negara. Oleh karena itu pemerintah dinilai harus memikirkan kebijakan fiskal serupa yang tidak membebani APBN.
“Kami berterima kasih kepada pemerintah yang menggulirkan subsidi ini, tapi alangkah lebih baiknya kalau subsidi tersebut dibuat dengan skema yang tidak membebani APBN,” kata Direktur Eksekutif KPBB Ahmad Safrudin dalam diskusi bertajuk “Standar Emisi dan Subsidi KBLBB yang Tidak Membebani APBN”, Kamis (15/12).
Dia menyarankan agar pemerintah menetapkan standar emisi untuk kendaraan bermotor yang diproduksi dan dipasarkan di Indonesia.
Standar emisi tersebut nantinya menjadi dasar perhitungan insentif untuk kendaraan yang emisinya memenuhi atau di atas standar yang ditetapkan. Begitu pula disinsentif untuk kendaraan yang gagal memenuhi standar emisi. Disinsentif tersebut bisa berbentuk cukai karbon kendaraan bermotor.
Nantinya insentif akan menurunkan harga jual kendaraan rendah karbon yang memenuhi standar emisi atau di atas standar emisi. Insentif tersebut diambil dari cukai karbon kendaraan yang gagal memenuhi standar emisi yang akan membuat harga jual kendaraan tersebut menjadi lebih mahal. Sehingga tidak membebani APBN.
Insentif pun diusulkan berlaku untuk semua jenis kendaraan, yakni kendaraan bermesin BBM atau internal combustion engine (ICE), kendaraan listrik berbasis baterai (KBLBB), dan kendaraan listrik hybrid atau secara umum kendaraan rendah karbon.
“Skema ini diharapkan bisa meningkatkan daya saing dan penetrasi kendaraan listrik atau bisa men-trigger penetrasi kendaraan rendah karbon yang diproduksi dan dipasarkan di Indonesia,” kata Ahmad.
Dia mencontohkan, tanpa skema insentif/disinsentif standar emisi, mobil listrik baterai yang harga pokoknya Rp 350 juta per unit harga jualnya dapat melambung hingga menjadi Rp 715 juta setelah memperhitungkan PPh impor, PPN, PPnBM, bea balik nama, pajak kendaraan, serta keuntungan penjual/pabrik.
Dengan perhitungan yang sama, mobil listrik hybrid dengan harga pokok Rp 320 juta harganya bisa menjadi Rp 654 juta, sedangkan mobil ICE atau BBM dengan harga pokok Rp 242 juta menjadi Rp 593 juta. Artinya mobil BBM lebih murah dan terjangkau dibandingkan mobil listrik.
Namun dengan skema insentif dan disinsentif cukai karbon, mobil listrik baterai harga jualnya akan turun menjadi Rp 585 juta, mobil listrik hybrid menjadi Rp 580 juta, sedangkan mobil BBM menjadi lebih mahal menjadi Rp 613 juta karena terkena cukai karbon.
Ahmad mengatakan insentif untuk mobil rendah karbon, dalam hal ini mobil listrik baterai, bisa lebih besar lagi jika listrik yang digunakan untuk mengisi dayanya bersumber dari energi baru terbarukan (EBT) seperti panel surya.
Perhitungan yang sama juga bisa diterapkan untuk motor. Menurut perhitungan KPBB, setelah memperhitungkan insentif dan disinsentif cukai karbon, harga motor listrik akan turun dari sekitar Rp 28 juta menjadi Rp 26 juta per unit, sedangkan harga motor BBM naik dari Rp 22 juta menjadi Rp 25 juta.
“Motor listrik masih lebih mahal tapi selisihnya dengan motor BBM menjadi lebih kecil. Selisih tipis ini meningkatkan daya saing motor listrik, apalagi kalau sepeda motor itu di cas pakai listrik EBT, solar panel misalnya, insentifnya akan lebih besar, harganya bisa hanya Rp 17 jutaan,” kata Ahmad.
Seperti diketahui pemerintah berencana memberikan subsidi untuk pembelian mobil listrik baterai dan hybrid, serta subsidi untuk pembelian motor listrik dan konversi motor BBM menjadi mobil listrik, untuk mendorong penggunaan kendaraan bebas emisi di Indonesia.
Rencananya subsidi untuk mobil listrik baterai sebesar Rp 80 juta, mobil listrik hybrid Rp 40 juta. Sedangkan subsidi untuk motor listrik Rp 8 juta dan konversi motor BBM menjadi motor listrik Rp 5 juta.