Kinerja industri manufaktur diprediksi tumbuh positif meskipun resesi membayangi pada 2023. Namun, pemutusan hubungan kerja atau PHK rentan terjadi, terutama di sektor padat karya yang berorientasi ekspor ke Amerika Serikat dan Uni Eropa.
Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita, mengatakan pertumbuhan industri manufaktur diprediksi antara 5,1%-5,4% pada tahun ini. Dengan pertumbuhan sebesar itu, nilai ekspor industri manufaktur diperkirakan sebesar US$ 225 miliar-US$ 245 miliar, meningkat dari ekspor industri tahun lalu sekitar US$ 210,38 miliar.
Sedangkan nilai investasi diperkirakan mencapai Rp 450 triliun-Rp 470 triliun pada 2023. "Adapun penyerapan tenaga kerja diperkirakan mencapai 19,2 juta-20,2 juta orang di tahun 2023," kata Agus, pada akhir Desember lalu.
Optimisme manufaktur tersebut tercermin dari PMI Manufaktur yang terus di atas poin 50 sepanjang 2022. Hal itu menunjukkan bahwa sektor industri manufaktur tanah air konsisten berada dalam level ekspansif.
Pada Desember 2022, PMI Manufaktur Indonesia ditutup pada tingkat 50,9 atau berhasil naik dibandingkan perolehan bulan sebelumnya yang menyentuh di angka 50,3. Berdasarkan hasil survei yang dirilis S&P Global, PMI Manufaktur Indonesia bertahan dalam fase ekspansif selama 16 bulan berturut-turut sejak September 2021.
Agus mengatakan, kinerja positif ini menunjukkan geliat industri manufaktur nasional terus mengalami perbaikan dan semakin pulih setelah terkena dampak pandemi Covid-19 dan di tengah kondisi ekonomi global yang tidak menentu karena ancaman resesi.
Namun demikianAgus mengatakan, tahun depan akan terdapat beberapa kendala atau tantangan. Tantangan pertama yaitu pertumbuhan ekonomi global diperkirakan melambat akibat tingkat inflasi global yang tinggi, dan gangguan rantai pasok akibat ketidakseimbangan perdagangan.
Tantangan kedua yaitu depresiasi nilai tukar rupiah akibat kebijakan moneter di negara maju menaikkan tingkat suku bunga. Ketiga yaitu perang Ukraina dan Rusia yang berkepanjangan dapat mengakibatkan kenaikan harga komoditas, krisis pangan, dan krisis energi.
Keempat, kemungkinan ketidakstabilan permintaan ekspor akibat permintaan global menurun. Dampaknya pengurangan produksi dan potensi PHK. “Kemudian, masih adanya ketergantungan impor bahan baku serta bahan baku penolong,” ujar Menperin.
Staf Ahli Menteri Perindustrian Bidang Iklim Usaha dan Investasi, Andi Rizaldi, memproyeksikan bahwa pertumbuhan industri pengolahan non migas diperkirakan mencapai 5,36% pada 2023. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan perkiraan pertumbuhan industri manufatur 2022 sebesar 5,02%.
"Pada 2022, pertumbuhan industri manufaktur disumbang oleh industri logam dasar sebesar 20,16%; industri mesin dan perlengkapan sebesar 17,6%; dan industri alas kaki sebesar 13,44%," ujarnya.
Namun demikian, kontribusi industri pengolahan non migas diperkirakan mengalami kontraksi menjadi 15,71%, dibandingkan proyeksi capaian 2022 yang mencapai 16,49%.
Ekonomi Tumbuh Melambat
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia atau Apindo, Hariyadi Sukamdani, memproyeksikan pertumbuhan ekonomi indonesia 2022 berkisar di antara 5,3-5,4% year on year atau yoy.
Hariyadi mengatakan, proyeksi tersebut didasarkan pada hasil pertumbuhan yoy yang diperoleh di kuartal I-2022 sebesar 5,01 %, kuartal II sebesar 5,44 persen, serta dan kuartal III sebesar 5,72 %. Pertumbuhan ekonomi tersebut menunjukkan tren kenaikan sejak awal 2022, serta tumbuh di atas ekspektasi.
Untuk 2023, Apindo memperkirakan pertumbuhan ekonomi berada di kisaran 5%-5,3% yoy dengan inflasi lebih kurang 5%. Rata-rata nilai tukar Rupiah diperkirakan Rp 15.200-Rp 15.800 per Dolar AS
Hariyadi mengatakan, perlambatan pertumbuhan tersebut dipengaruhi oleh resesi global. Hal itu terutama karena terjadi penurunan permintaan ekspor pada industri padat karya.
Menurut Hariyadi, penurunan permintaan ekspor tersebut telah terjadi sejak akhir 2022 dan mengakibatkan pemutusan hubungan kerja pada industri padat karya. Kondisi tersebut diperkirakan akan berlanjut pada 2023.
"BPJS Ketenagakerjaan mencatat telah terjadi PHK terhadap 819 071 pekerja yang mencairkan dana JHT akibat PHK dari Januari hingga 1 November 2022," kata Hariyadi kepada Katadata.co.id saat ditemui di Kantor Apindo, Jakarta, Rabu (21/12).
Hariyadi mengatakan, potensi PHK semakin meningkat setelah pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja no.18 tahun 2022. Aturan tersebut menyatakan bahwa kenaikan upah minimum pekerja tidak boleh lebih dari 10% pada 2023.
Menurut Hariyadi, kondisi tersebut menambah beban pengusaha terutana padat karya. Oleh sebab itu, Apindo tengah menggugat Permenaker no. 18 tahun 2022 ke Mahkamah Agung. Apindo menuntut pemerintah kembali menggunakan PP 36 tahun 2021 yang menjadi turunan UU Cipta Kerja.
Tiga Industri Akan PHK Massal
Perlambatan ekonomi global diperkirakan bakal menghantam industri padat karya, terutama yang berorientasi ekspor. Wakil Ketua Apindo, Shinta Widjaja Kamdani, mengatakan kondisi ini membuat industri padat karya dibayangi oleh ancaman pemutusan hubungan kerja atau PHK. Dia memperkirakan PHK massal pada 2023 kemungkinan terjadi pada tiga jenis industri yaitu industri tekstil, alas kaki, dan furniture.
Tiga industri tersebut kemungkinan bakal mengalami penurunan permintaan yang signifikan terutama dari Amerika Serikat dan Uni Eropa. "Pasti akan lakukan PHK pada tahun depan, bukannya akan lagi," ujar Shinta kepada Katadata.co.id.
Shinta mengatakan, tiga industri tersebut mulai melakukan PHK tahun ini. Namun, menurut Shinta, gelombang PHK akan semakin tinggi tahun depan.
Berdasarkan catatan Apindo, industri padat karya seperti Tekstil dan Produk Tekstil atau TPT dan Alas Kaki dihadapkan pada penurunan permintaan pasar global sejak awal semester II-2022. Permintaan tersebut khususnya yang berasal dari negara-negara maju.
"Di industri TPT dan alas kaki terjadi penurunan order 30 - 50 % untuk pengiriman akhir 2022 sampai kuartal pertama 2023," ujarnya. Dengan demikian, kondisi tersebut memaksa perusahaan-perusahaan di sektor tersebut untuk mengurangi produksi secara signifikan dan berujung pada pengurangan jam kerja hingga PHK.