Pengusaha mengungkapkan performa industri padat karya belum akan membaik. Potensi Pemutusan Hubungan Kerja atau PHK massal diprediksi kembali terjadi pada tahun ini.
Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bob Azam mengatakan industri padat karya masih memiliki tantangan besar tahun ini, khususnya industri tekstil dan produk tekstil dan industri alas kaki. Sebab, kondisi permintaan di pasar ekspor utama kedua industri tersebut masih belum pulih tahun ini.
"Permintaan di Eropa turun, dan pasar Asia juga turun tahun ini. Kalau kita tidak berbuat apa-apa, maka PHK tahun lalu akan terjadi lagi tahun ini," kata Bob kepada Katadata.co.id, Jumat (9/2).
Data Kementerian Ketenagakerjaan, total tenaga kerja yang terkena PHK selama 2023 mencapai 358.809 orang. Sebagian besar atau 77,62% PHK terjadi pada paruh kedua tahun lalu. Karena kondisi industri yang belum membaik, kemungkinan gelombang PHK bakal berlanjut tahun ini.
Sentra industri padat karya nasional berada di dua provinsi, yakni Jawa Barat dan Jawa Tengah. Data Kemenaker mencatat kontribusi PHK pada kedua provinsi tersebut mencapai 54,36% dari total PHK 2023.
Secara rinci, jumlah PHK di Jawa Barat mencapai 125.748 orang atau 35,05% dari total PHK. Sementara itu, PHK di Jawa Tengah adalah 69.286 orang atau 19,31% dari total PHK.
Bob mengatakan harus ada intervensi pemerintah untuk memperbaiki performa industri padat karya. Menurutnya, intervensi tersebut dapat dilakukan dengan melonggarkan pajak bagi industri padat karya dan menggenjot permintaan domestik.
Langkah tersebut diyakini dapat memberikan ruang bergerak bagi industri. Tingkat penggunaan kapasitas produksi pabrik dapat terjaga dengan menggeser permintaan ekspor ke dalam negeri.
Industri Manufaktur Penopang Perekonomian
Menurut Bob kontribusi sektor pengolahan sangat besar terhadap perekonomian. Industri ini mampu membuat pertumbuhan ekonomi Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan saat itu tumbuh hingga 8%.
Di Indonesia sumbangan industri manufaktur masih rendah. Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat kontribusi industri pengolahan ke perekonomian nasional tahun lalu hanya 18,67%.
"Kita saja kalah dengan Singapura yang kontribusi manufakturnya 20%," ujarnya. Bob berpendapat pemerintah seharusnya dapat menggenjot kontribusi manufaktur dengan mendorong industri padat karya di dalam negeri.
Menurutnya, Indonesia bisa mencontoh beberapa negara yang telah menikmati bonus demografi dengan memanfaatkan industri padat karya, seperti Jepang, Taiwan, dan korea Selatan. Negara-negara tersebut memiliki kontribusi sektor pengolahan ke perekonomian nasional hingga 30%.
Alih-alih memanfaatkan bonus demografi, pemerintah kini malah fokus menarik investasi ke industri padat modal, seperti peleburan metal, baterai kendaraan listrik, dan kendaraan listrik. Padahal, kata Bob, pemerintah pasti akan memerlukan industri padat karya yang mampu menyerap banyak tenaga kerja untuk mengatasi bonus demografi.
Bob mencatat jumlah angkatan kerja baru yang masuk pasar kerja mencapai tujuh juta orang per tahun. Seluruh angkatan kerja tersebut tidak mungkin diserap oleh industri padat modal.
"Kita harus liat industri padat karya dalam jangka waktu menengah dan panjang. Industri ini sensitif pada kebijakan, seperti upah. Oleh karena itu, pemerintah perlu hadir dalam industri padat karya," katanya.