Warga Rusia menyerbu anjungan tunai mandiri (ATM) untuk menarik seluruh simpanannya seiring anjloknya nilai tukar rubel terhadap dolar imbas sejumlah sanksi yang dijatuhkan oleh Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa atas invasi ke Ukraina.
Antrian pada ATM di berbagai kota di Rusia mengular hingga puluhan meter. Bahkan Sberbank Europe, bank bentukan Bank Sentral Rusia, mengalami kegagalan (default) setelah terjadi penarikan besar-besaran dalam waktu singkat hingga kehabisan likuiditas.
“Sejak Kamis, semua orang menyerbu ATM demi ATM untuk mengambil uang tunai. Beberapa beruntung dan lainnya tidak begitu beruntung,” kata warga St. Petersburg, Pyotr, seperti dikutip The Straits Times, Selasa (1/3).
Nilai tukar rubel anjlok pada Senin (28/2) setelah serangkaian sanksi yang dijatuhkan negara-negara barat, termasuk dikeluarkannya beberapa bank Rusia dari SWIFT, sebuah sistem pesan aman yang digunakan untuk transaksi bernilai triliunan dolar perbankan dunia.
Untuk mengantisipasi jatuhnya rubel lebih dalam, bank sentral Rusia menaikkan suku bunga utamanya hingga dua kali lipat dari 9,5% menjadi 20%. Nilai tukar rubel terhadap dolar AS telah anjlok hingga 30% ke rekor terendahnya sepanjang sejarah 119 rubel per dolar.
Bank sentral Rusia juga menerapkan kebijakan kontrol untuk mengendalikan aliran keluar modal ke luar negeri. Gubernur bank sentral Rusia Elvira Nabiulina mengatakan bahwa sanksi dari AS dan UE telah mencegah pihaknya untuk dapat menjual mata uang asing untuk menopang rubel.
“Ini adalah bank run (rush) yang sudah berlangsung. Bank sentral Rusia juga telah melakukan kontrol modal. Jadi itu menghentikannya agar tidak seburuk yang seharusnya,” Maximilian Hess, pakar ekonomi Rusia dan rekan di Foreign Policy Research Institute, seperti dikutip CNBC.
Kontrol modal berarti, misalnya, dana pensiun Norwegia yang sangat besar, yang mengatakan akan melakukan divestasi dari kepemilikannya di Rusia, tidak dapat menjualnya dengan mata uang asing.
“Tapi perlahan-lahan akan ditemukan cara untuk menyiasati kontrol itu. Kontrol kemungkinan akan tetap ada, tetapi yang mereka lakukan hanyalah menunda rasa sakit untuk sementara,” kata Hess.
Sanksi dari AS dan UE terhadap Rusia semakin ketat. Mereka juga termasuk memotong beberapa bank Rusia dari sistem pembayaran SWIFT global, menutup wilayah udara UE untuk pesawat Rusia dan, yang paling signifikan, membekukan transaksi bank sentral Rusia. Swiss yang terkenal atas netralitasnya pun mengikuti langkah UE dengan membekukan aset milik orang Rusia.
"Kami akan melumpuhkan aset bank sentral Rusia. Kami akan membekukan transaksinya. Itu akan membuat bank sentral Rusia tidak bisa melikuidasi asetnya," kata Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen dalam sebuah pernyataan, Minggu.
Langkah ini penting karena Rusia memiliki cadangan devisa jumbo senilai US$ 630 miliar (lebih dari Rp 9.000 triliun), level tertinggi yang pernah ada. Aset ini dinilai sebagai penyangga terhadap sanksi dan konsekuensi kerugian dalam pendapatan ekspor.
Dengan pembekuan aset yang direncanakan, Rusia tidak dapat menjualnya dengan euro atau dolar untuk menopang rubel yang tenggelam.
Dampaknya akan paling parah dirasakan oleh orang Rusia biasa, yang telah melihat nilai tabungan dan gaji mereka turun drastis hanya dalam beberapa hari. Rubel turun tajam terhadap dolar sejak saat ini tahun lalu, dan analis memperkirakan dampaknya akan semakin buruk.
“Saya pikir penargetan cadangan bank sentral adalah berita penting. Cadangan devisa Rusia yang besar adalah garis pertahanan utama dan pertama terhadap (sanksi) aset lokal Rusia,” kata analis global FX, rates and EM strategy di Goldman Sachs Kamakshya Trivedi.