Koalisi nasional penolak Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Permusikan menyebutkan, setidaknya terdapat 19 pasal bermasalah dalam peraturan ini. Bukan hanya kontennya tidak jernih tetapi juga perihal yang diatur tak jelas.
"(Pasal) itu mulai dari redaksional yang tidak jelas, siapa dan apa yang diatur juga tidak jelas, sampai dengan persoalan terkait jaminan kebebasan berekspresi dalam bermusik," kata Musisi Rara Sekar mengutip keterangan resmi yang dilansir koalisi nasional, Senin (4/2).
Belasan pasal yang dimaksud ialah Pasal 4, 5, 7, 10, 11, 12, 13, 15, 18, 19, 20, 21, 31, 32, 33, 42, 49, 50, dan 51. Sebanyak 267 musisi yang tergabung dalam koalisi tersebut berpendapat, pasal-pasal ini mengulas perihal yang tidak mendesak untuk diatur dalam kerangka undang-undang.
(Baca juga: Koalisi Seni Sebut Dua Hal Krusial yang Perlu Diperjelas RUU Musik)
Senada, Koalisi Seni Indonesia menyebutkan beberapa pasal yang menjadi persoalan ialah Pasal 5 dan 50 tentang kebebasan berekspresi dengan ancaman pidana. Ada pula Pasal 20 - 21 dan 31 - 37 terkait kompetensi serta apresiasi.
Pasal 5 dan 50 menyatakan bahwa setiap orang dalam berkreasi dilarang mendorong khalayak melakukan kekerasan, perjudian, penyalahgunaan NAPZA, provokasi SARA, menistakan nilai agama, membuat konten pornografi, melawan hukum, serta tidak boleh membawa pengaruh negatif budaya asing.
Musisi Efek Rumah Kaca Cholil mengatakan, Pasal 5 memuat kalimat bias. "Pasal karet seperti ini membuka ruang bagi kelompok pengusaha atau siapapun untuk mempersekusi kreasi yang tidak mereka sukai," ucapnya.
(Baca juga: Erwin Gutawa Pentaskan 30 Lagu Menceritakan Tiga Musisi Perempuan)
Pasal 20 - 21 dan 31 - 37 menyebutkan, untuk diakui sebagai profesi maka pelaku musik dari jalur autodidak harus ikut uji kompetensi. Pengujian ini berdasarkan standar profesi pemusik berbasis pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman. Musisi bersertifikat diberikan apresiasi sesuai kualifikasi dan kompetensi yang dimiliki. Honorarium mereka ditetapkan secara terstandar oleh pemerintah.
Menurut Pemusik Jason Ranti, peraturan tersebut berpotensi menganaktirikan musisi independen dan cenderung memihak pebisnis besar. Praktik uji kompetensi bagi pelaku musik diakui berlaku di sejumlah negara. Tapi, tidak ada negara yang mewajibkan perihal ini kepada seluruh pemusik.
"Lembaga sertifikasi yang ada biasanya sifatnya tidak memaksa tetapi hanya pilihan atau opsional," imbuh Musisi Mondo Gascaro. Menurutnya, pasal-pasal terkait uji kompetensi juga berpotensi mendiskriminasikan pemusik autodidak.
Selain mengenai uji kompetensi, koalisi penolak RUU Permusikan juga mempersoalkan Pasal 10 yang mengatur distribusi karya musik secara langsung maupun tidak langsung. Pihak yang disebut sebagai distributor adalah label rekaman, penyedia jasa distribusi produk musik fisik, maupun penyedia konten musik dalam bentuk digital.
"Tidak memberikan ruang kepada musisi untuk mendistribusikan sendiri karyanya. Ini berpotensi memarjinalkan musisi terutama mereka yang independen. Ini curang," ujar Jason Ranti. (Baca juga: SDM Terkait Empat Subsektor Kreatif Ini Mulai Disertifikasi)
Beberapa pasal lain yang kalimatnya tidak jelas alias rentan menimbulkan penafsiran berbeda adalah Pasal 11 dan 15. Keduanya hanya memuat informasi umum tentang cara distribusi karya musik serta konsumsinya oleh khalayak.
Pemusik Endah Widiastuti dari Endah N Rhesa berpendapat, referensi pembuatan draf RUU Permusikan tidak sejalan dengan proses kreatif para musisi independen serta karakter bisnis di bidang ini.
Rancangan undang-undang tersebut masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2019. Anggota Komisi X DPR RI Anang Hermansyah merespon positif berbagai kritik yang muncul. “Ini berarti ada kepedulian dari stakeholder atas keberadaan RUU ini," ujarnya.
(Baca juga: Pencatat Data Musik Berteknologi Blockchain Beroperasi Mulai 2020)
Anang menjelaskan, RUU Permusikan diusulkan Baleg DPR RI melalui Badan Keahlian Dewan (BKD). BKD sebelumnya meminta pendapat sejumlah pemangku kepentingan terkait materi dalam draf peraturan ini. "Tentu tidak semua pihak diminta pendapat. Maklum saja, ini baru rancangan," ujarnya.
Berkomentar terkait salah satu pasal yang diperdebatkan, uji kompetensi dan sertifikasi, Anang mengutarakan bahwa ketentuan ini bertujuan agar profesi di bidang musik mendapatkan perlindungan negara.
(Baca juga: Teknologi Digital Berkontribusi terhadap Pertumbuhan Industri Hiburan)
Persoalan sertifikasi menjadi kebutuhan merujuk kepada Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI). Standar ini hasil ratifkasi Regional Model Competency Standard (RMCS) dari International Labour Organization.
"Memang tampak absurd mengukur karya seniman dan musisi melalui uji kompetensi dan sertifikasi. Namun, globalisasi dan perdagangan bebas menuntut ini. Tapi semua harus kita diskusikan lebih detail kembali," kata Anang.