Penerimaan pemerintah terancam tergerus bila harga gas bumi di hulu dikurangi hingga tinggal US$ 3,82 per mmbtu. Sebab, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral I.G.N. Wiratmaja Puja mengatakan saat ini harga gas di hulu rata-rata US$ 5,9 per mmbtu.
Bila dipilah, harga ini terdiri dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar US$ 0,92 per mmbtu, Pajak Penghasilan (PPh) Migas US$ 1,19 per mmbtu, dan bagian kontraktor US$ 1,2 per mmbtu. Selain itu, masih ada yang diperuntukkan cost recovery US US$ 2,6 per mmbtu yang terdiri dari belanja modal (capex) dan biaya operasional (opex).
Dari struktur harga tersebut, jika pemerintah tidak mengambil PNBP maka harga gas di hulu bisa turun menjadi US$ 5,01 per mmbtu. Tapi, penerimaan negara akan berkurang sebesar US$ 544 juta per tahun. Ini dengan asumsi ada 50 perjanjian jual beli gas (PJBG) di hulu. (Baca: Kargo Domestik Tak Laku, Kementerian Energi Tolak Impor LNG)
Namun jika pemerintah rela untuk tidak mendapatkan pajak penghasilan (PPh) dan PNBP dari gas maka akan ada potensi kehilangan penerimaan negara lebih tajam lagi yakni sebesar US$ 1,26 miliar per tahun. Namun potensi kehilangan tersebut bisa membuat harga gas di hulu menjadi US$ 3,8 per mmbtu. "Ini based on contract, dan alternatif untuk menurunkan tentu perlu dibahas," kata dia di Gedung Migas Kementerian ESDM, Jakarta, Senin, 24 Oktober 2016.
Selain mengurangi PPh dan PNBP, pemerintah juga membuka opsi penurunan harga gas dengan mengefisienkan cost recovery migas para kontraktor. Caranya dengan menekan biaya operasional dan belanja modal. (Baca: Hanya Dua Industri yang Menikmati Penurunan Harga Gas Awal 2017).
Tapi, efisiensi biaya operasi dan belanja modal bisa dilakukan untuk kontrak baru. Adapun terhadap kontrak yang tengah berjalan, efisiensi yang memungkinkan dilakukan adalah biaya operasi. "Untuk proyek yang sudah berjalan tentu capex sudah dibayar jadi tidak bisa diefisienkan lagi," kata Wiratmaja.
Dengan pengurangan harga gas di hulu, diharapkan sampai pembeli akhir atau industri bisa ditekan. Saat ini harga gas pipa di Indonesia rata-rata US$ 8,3 per mmbtu, sedangkan harga gas alam cair (LNG) sekitar US$ 9,5 per mmbtu.
Harga tersebut memang lebih mahal dari Malaysia dan Thailand. Di Malaysia, harga gas pipa sampai pembeli akhir bisa mencapai US$ 6,6 per mmbtu dan Thailand US$ 7,5 per mmbtu. Tapi harga tersebut sudah disubsidi pemerintah dengan tidak mengambil PNP. Sedangkan di Thailand disinskronkan dengan harga minyak dunia.
Di sisi lain, harga gas pipa di Indonesia sebenarnya lebih murah dibandingkan Cina yang mencapai US$ 15 per mmbtu. Kemudian, harga di Jepang yang bisa mencapai US$ 22,48 per mmbtu dan Korea Selatan US$ 13,66 per mmbtu di 2015. Itupun sebelum dipotong pajak di dua negara tersebut. (Baca: Berpacu Mengurai Ruwetnya Masalah Harga Gas).
Sementara dengan Singapura, harga gas Indonesia juga masih lebih murah. Dikutip dari data singaporepower.com.sg, per 1 Agustus 2016 sampai 31 Oktober 2016, harga gas sampai pembeli akhir mencapai US$ 16,6 sen per kWh atau US$ 15,96 per MMBtu. "Memang kalau kita lihat Indonesia tinggi tapi tidak jauh banget," kata dia.