Kabar Royal Dutch Shell hengkang dari proyek gas alam cari atau LNG Abadi Blok Masela muncul di berbagai media hari ini, Senin (6/7). Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) membantah hal tersebut.
Deputi Operasi SKK Migas Julius Wiratno mengatakan Shell belum melepas kepemilikan sahamnya di proyek itu. Namun, perusahaan memang berniat keluar dari Blok Masela dan sedang berdiksui dengan Inpex Corporation untuk mencari mitra baru. “Sampai hari ini Shell belum hengkang ya, masih diskusi dengan Inpex dan yang lain,” kata Julius.
Rencana Shell keluar dari Blok Masela, menurut dia, sebenarnya sudah diutarakan beberapa bulan lalu. Penyebabnya, kondisi keuangan perusahaan tertekan di tengah pandemi corona.
Julis menilai, dengan mundurnya Shell akan berdampak besar terhadap penyelesaian proyek. SKK Migas sebelumnya sempat berhitung jika harga minyak dunia berada di level US$ 40 per barel maka akan berpengaruh pada jadwal penyelesaian blok migas itu. Pasalnya, Inpex menghitung tingkat keekonomian Blok Masela berdasarkan asumsi harga minyak berada di level US$ 60 per barel.
Inpex tetap berkomitmen mengembangkan proyek tersebut. Beberapa kegiatan seperti, pengurusan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), akuisisi lahan, dan survei masih terus berjalan di tengah pandemi corona.
(Baca: DPR Pesimistis Proyek Masela Berhasil Dikembangkan)
Polemik Kilang Blok Masela di Darat dan Laut
Pembahasan pengembangan Lapangan Abadi Blok Masela telah berjalan lebih 20 tahun. Cadangan terbukti gas bumi di lapangan yang terletak di Laut Arafuru, Maluku Utara tersebut sebesar 6,05 triliun kaki kubik (TCF). Inpex mendapatkan hak melakukan eksplorasi pada 16 November 1998 dan pemerintah memberikan waktunya selama 10 tahun.
Namun, hingga jelang tenggat waktu tersebut, eksplorasi belum selesai. Inpex mengajukan perpanjangan lagi pada 2008. Dua tahun kemudian perusahaan mendapat persetujuan pengembangan blok tersebut dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Darwin Zahedy Saleh. Skemanya adalah floating LNG (FLNG) atau kilang di laut (offshore).
Pada 2014, Inpex menemukan cadangan gas di Blok Masela ternyata sebesar 10,7 TCF. Temuan cadangan baru yang sangat besar ini mengharuskan adanya revisi proposal pengembangan (PoD) yang sudah ditetapkan sebelumnya.
(Baca: SKK Migas Sebut Proyek Masela Bisa Mundur Setahun Imbas Pandemi Corona)
Revisinya dilakukan dengan menambah kapasitas FLNG dari 2,5 juta metrik ton menjadi 7,5 juta metrik ton. Namun, revisi ini belum rampung hingga berakirnya pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Proposal revisi PoD Blok Masela pun diajukan kembali saat pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Saat itu Inpex mengajukan perubahan kapasitas FLNG dari 2,5 juta ton per tahun selama 30 tahun, menjadi 7,4 juta ton per tahun selama 24 tahun. Perubahan kapasitas FLNG ini terjadi karena cadangan yang ditemukan lapangan tersebut meningkat dari proposal awal sebesar 6,05 TCF menjadi 10,3 TCF.
Hal tersebut malah menjadi polemik, lantaran Rizal Ramli yang menjabat Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman tidak setuju. Ia menilai tidak tepat memakai FLNG karena tidak meningkatkan pembangunan daerah wilayah Maluku.
Rizal juga menilai teknologi FLNG menghabiskan investasi senilai US$ 19,3 miliar atau lebih mahal ketimbang di darat yang hanya menghabiskan US$ 14,8 miliar. Bahkan, Rizal berani mengklaim kilang akan dibangun di darat meski belum ada keputusan apapun.
(Baca: Pandemi Corona Menyulitkan SKK Migas Gaet Pembeli Gas Blok Masela)
Pernyataan Rizal sempat membuat adanya perbedaan di tingkat pemerintah, antara dirinya dengan Menteri ESDM dan Kepala SKK Migas saat itu yakni Sudirman Said dan Amien Sunaryadi. Amien saat itu merujuk kepada Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi serta Peraturan Pemerintah Nomor 35 tahun 2004.
Dalam aturan tersebut, yang berwenang menyetujui atau menolak rencana pengembangan atau plan of development (POD) suatu blok migas adalah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Sementara, Menteri ESDM Sudirman Said masih menunggu arahan dari Jokowi untuk memutuskan skema pengembangan blok ini.
Pada Maret 2016 Jokowi akhirnya memutuskan pengembangan Blok Masela dengan skema onshore. Ia beralasan dua pertimbangan yang mendasari keputusan ini.
Pertama, perekonomian daerah dan perekonomian nasional bisa terimbas dari adanya pembangunan proyek Blok Masela. Kedua, dengan proyek ini wilayah sekitar regional Maluku juga bisa ikut berkembang pembangunannya. "Dari kalkulasi, perhitungan dan pertimbangan yang sudah saya hitung, kami putuskan dibangun di darat," kata Jokowi.
(Baca: Inpex: Proyek Blok Masela Terus Jalan Meski Harga Minyak Jatuh)
Inpex dan Shell (pemegang hak partisipasi 35%) yang menginginkan FLNG, akhirnya mengikuti arahan Jokowi. Begitu pula Sudirman dan Amien. Namun, kajian desain awal (pre front end engineering design/FEED) belum juga diselesaikan Inpex hingga beberapa tahun.
Enam bulan usai dilantik, Menteri ESDM Ignasius Jonan mengancam mencabut izin Inpex, lantaran kajian desain awal atau Pre-FEED pengembangan Blok Masela tak kunjung diselesaikan. "Sudah enam bulan saya di ESDM tidak jalan-jalan, kalau kelamaan saya cabut (izin) Inpex," kata Jonan pada Mei 2017.
Ancaman Jonan memiliki dasar, karena proyek ini sebenarnya telah masuk dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN) yang dikawal pemerintah. Belakangan Pre-FEED baru dijalankan Inpex pada Maret 2018 dan selesai Oktober 2018 yang kemudian dilanjutkan dengan penyusunan PoD.
Saat itu Jonan mulai berani menaksir angka investasi pengembangan Blok Masela di kisaran US$ 20-21 miliar. Dengan skema darat, sebenarnya pemerintah memperkirakan proyek Masela baru bisa beroperasi 2027.
(Baca: Pulau Nustual jadi Lokasi Pelabuhan Pendukung Kilang LNG Blok Masela)
Tahun lalu akhirnya disepakati nilai investasi pengembangan blok ini US$ 18-20 miliar. Pemerintah dan Inpex juga mencapai kesepakatan bersama dengan skema bagi hasil, dimana pemerintah sekurangnya mendapat bagian 50%.
SKK Migas juga memastikan pengembangan Blok Masela menggunakan skema kilang darat alias onshore. Biaya pengembangan dengan skema ini sekitar US$ 6 sampai US$ 7 per setara barel minyak (boe) atau 20% lebih murah ketimbang biaya untuk skema kilang laut (offshore) sebesar US$8 hingga US$ 9 per boe.
Peran Menteri Arifin dalam HoA Blok Masela
Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto sempat menyebut sosok Menteri ESDM Arifik Tasrif berperan besar dalam kesepakatan awal atau head of agreement (HoA) pengembangan Blok Masela. Kesepakatan itu ditandatangani di Jepang pada 16 Juni 2019. Arifin ketika itu menjabat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Jepang.
Arifin selalu ada dalam setiap perundingan yang dilakukan antara pemerintah dengan Inpex. "Dengan Inpex, beliau selalu kami libatkan ketika HoA Blok Masela," kata Dwi saat ditemui di Jakarta pada 25 Oktober lalu.
Saat serah terima jabatan, Jonan pun menitipkan pengembangan Blok Masela kepada Arifin. "Karena dubes kita pernah tugas di Tokyo, saya titip proyek besar Inpex. Itu mestinya bisa jalan, Pak," kata Jonan ketika itu.
(Baca: Inpex Buka Tender Desain Detail Proyek Blok Masela)
Produksi Blok Masela penting untuk mengatasi defisit neraca gas yang diproyeksi bakal terjadi pada 2025. Defisitnya diperkirakan mencapai 206,5 juta standar kaki kubik per hari (mmscfd).
Pemerintah berharap Blok Masela dapat memberikan kontribusi tambahan produksi gas bumi setara 10,5 juta ton per tahun (mtpa). Produksinya terdiri dari 9,5 juta ton LNG per tahun dan gas pipa sebesar 150 mmscfd.
Selain produksi migas, pengembangan Blok Masela diharapkan dapat menciptakan efek berganda bagi industri pendukung dan turunan di dalam negeri dalam rangka mendukung perekonomian nasional. Berdasarkan data SKK Migas, produk domestik bruto (PDB) bakal mencapai US$ 153,6 miliar atau sekitar Rp 2.135 triliun selama Blok Masela memproduksi gas dari 2022 sampai 2055.