Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan membentuk satuan tugas (satgas) untuk mengawasi proses transaksi jual beli bijih nikel dari penambang kepada smelter. Hal ini untuk menjaga agar transaksi jual-beli bijih nikel mengacu pada harga patokan mineral (HPM).
Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Yunus Saefulhak, mengatakan pembentukan satgas bertujuan mengimplementasikan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 11 tahun 2020 yang mengatur tata niaga bijih nikel dalam negeri.
Yunus mengatakan satgas tersebut nantinya terdiri dari pihak Kementerian ESDM, Kementerian Perindustrian dan juga Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). "Anggota satgas, kami sudah minta angota dari BKPM satu lagi nunggu dari perindustrian belum sampaikan pada kita," ujar dia dalam konferensi pers, Senin (20/7).
Lebih lanjut, menurut dia satgas ini dapat segera mulai menjalankan tugasnya bulan depan guna mengawasi transaksi bijih nikel di smelter. Adapun pemerintah akan memberikan sanksi tegas jika nantinya ada oknum yang ketahuan melanggar.
(Baca: Sempat Terhambat TKA, Pabrik Nikel dan Baja di Morosi Mulai Beroperasi)
Pasalnya, selama ini Pemerintah belum memberikan sanksi tegas lantaran regulasi ini baru diteken bulan April. Selain itu, antara penambang serta pihak semelter juga telah terikat kontrak yang cukup lama.
"Sudah ada kontrak, maka penyesuaian kontrak itu kan butuh waktu, ada yang sudah kontraknya berakhir tiga bulan lagi, dua bulan lagi, nanti diperbaharui nanti dengan HPM. Jadi butuh waktu," ujarnya.
Sebagaimana diketahui, di dalam permen tersebut, pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) operasi produksi (OP) mineral logam wajib mengacu pada harga patokan mineral (HPM) saat menjual bijih nikel. Aturan ini berlaku juga bagi IUP khusus (IUPK) OP mineral logam.
Kewajiban itu juga ditetapkan untuk pemegang IUP dan IUPK OP yang menjual bijih nikelnya ke perusahaan afiliasi. "Bagi pihak lain yang melakukan pemurnian bijih nikel, yang berasal dari pemegang IUP dan IUPK OP mineral logam wajib membeli dengan mengacu pada HPM," demikian dikutip dari dari Permen ESDM.
(Baca: Tujuh Investor Bakal Relokasi Pabrik ke RI, Mayoritas dari Tiongkok)
Dalam aturan itu, pemerintah mengatur batas harga dasar (floor price) dengan menetapkan rentang toleransi (buffer). Kisaran ditetapkan untuk mengantisipasi jika harga transaksi melebihi HPM logam.
Apabila harga transaksi lebih rendah dari HPM logam, maka penjualan bijih nikel dapat dilakukan di bawah patokan dengan selisih paling tinggi 3%. Dengan syarat, transaksi ini dilakukan pada periode kutipan sesuai harga acuan atau terdapat penalti atas mineral pengotor (impurities).
Kebijakannya akan berbeda jika transaksi dilakukan pada periode kutipan sesuai harga acuan atau terdapat bonus atas mineral tertentu. Dalam kasus ini, apabila harga transaksi lebih tinggi dari HPM, maka penjualan wajib mengikuti harga transaksi diatas HPM logam.
Jika ada pihak yang melanggar aturan tersebut, maka pemerintah akan memberikan peringatan dan sanksi. Mulai dari peringatan tertulis, penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan usaha hingga pencabutan izin.
(Baca: Antam Optimalkan Produksi Nikel dan Perluas Pasar di Tengah Pandemi)