Ketentuan Jam Kerja dalam RPP Turunan UU Cipta Kerja, Ada 6 Hari Kerja

ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/rwa.
Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Ida Fauziyah (kiri) menyampaikan paparan saat rapat kerja bersama Komisi IX DPR di kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (18/1/2021). Agenda rapat tersebut salah satunya membahas tentang perkembangan peraturan turunan Undang-undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Penulis: Pingit Aria
30/1/2021, 19.21 WIB

Pertama, 8 jam pertama, dibayar 2 kali upah sejam. Kedua, jam kesembilan dibayar 3 kali upah sejam. Ketiga, jam kesepuluh, jam kesebelas, dan jam kedua belas dibayar 4 kali upah sejam.

Sementara itu, Pasal 31 RPP itu menyatakan perhitungan upah kerja lembur didasarkan pada upah bulanan.

Sebelumnya, klaster ketenagakerjaan merupakan topik yang paling banyak mendapat sorotan dalam pembahasan UU Cipta Kerja. Simak Databoks berikut: 

Aturan itu juga menyatakan waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling lama 4 jam sehari dan 18 jam dalam seminggu. Waktu kerja lembur itu tidak termasuk kerja lembur yang dilakukan pada waktu istirahat mingguan dan/atau hari libur resmi.

"Untuk melaksanakan waktu kerja lembur harus ada perintah dari pengusaha dan persetujuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan secara tertulis dan/atau melalui media digital," demikian dikutip dari RPP tersebut.

Sementara itu, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menekankan bahwa aliansi buruh tidak pernah terlibat dan tidak akan terlibat dalam pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) turunan UU Cipta Kerja.

“Tidak mungkin buruh yang menolak UU Cipta Kerja, kemudian secara bersamaan juga terlibat di dalam pembahasan RPP,” katanya, Sabtu (30/1/2021).

Saat ini, serikat buruh sedang melakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait UU Cipta Kerja, khususnya pada klaster ketenakerjaan. Maka, apabila MK mengabulkan tuntutan tersebut, otomatis RPP turunannya akan menjadi sia-sia.

Halaman: