Denda Pelaku Monopoli Diperberat dalam PP Persaingan Usaha UU Ciptaker

ANTARA FOTO/Septianda Perdana
Para Investigator KPPU mendengarkan keterangan saksi, Ketua DPD Organisasi Angkutan Sewa Khusus Indonesia (Oraski) Sumut David Siagian (tengah) dalam sidang dugaan praktik usaha tidak sehat antara mitra driver individu dengan PT Solusi Transportasi Indonesia (Grab Indonesia) dan PT Teknologi Pengangkutan Indonesia (TPI), di Medan, Rabu (20/11/2019).
Penulis: Happy Fajrian
2/3/2021, 07.18 WIB

Pemerintah memperberat sanksi terhadap perusahaan yang melakukan praktek persaingan usaha tidak sehat atau monopoli dalam peraturan turunan Undang-undang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja).

Aturan tersebut dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 44 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang belum lama ini diteken oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Untuk pelaku usaha yang melakukan praktek persaingan usaha tidak sehat seperti monopoli, oligopoli, integrasi vertikal, penyalahgunaan posisi dominan, dan sebagainya, akan dikenakan denda minimal Rp 1 miliar hingga paling banyak 50% dari keuntungan bersih yang diperoleh selama terjadinya pelanggaran.

“Atau paling banyak sebesar 10% dari total penjualan pada pasar bersangkutan, selama kurun waktu terjadinya pelanggaran terhadap undang-undang,” tulis pasal 12 ayat 1 huruf b, PP 44/2021, dikutip Selasa (1/3).

Pada aturan sebelumnya, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, pelanggaran tersebut hanya dikenakan denda minimal Rp 1 miliar hingga maksimal Rp 25 miliar.

Dalam penjelasan pasal tersebut, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) diberikan kewenangan untuk menetapkan besaran sanksi denda maksimum berdasarkan keuntungan atau nilai penjualan yang diperoleh dari hasil pelanggaran.

"Pilihan yang tersedia bersifat alternatif, dan penerapannya berdasarkan kasus per kasus yang akan diputuskan komisi (KPPU)," tulis penjelasan PP ini.

Sementara jika KPPU menggunakan dasar penghitungan nilai penjualan, maka beberapa faktor perlu diperhatikan seperti kegiatan pelaku usaha, kondisi pasarnya, dan jangka waktu terjadinya pelanggaran.

Nilai penjualan untuk perhitungan sanksi denda pun ditetapkan berdasarkan nilai sebelum pengenaan pajak atau pungutan negara yang terkait langsung dengan penjualan barang/jasa pada pasar bersangkutan.

Untuk penghitungan berdasarkan jangka waktu, jika pelanggarannya dilakukan kurang dari 6 bulan, maka akan diperhitungkan sebagai setengah tahun atau enam bulan. Sebaliknya jika lebih dari enam bulan tapi kurang dari 1 tahun, maka akan dihitung 1 tahun penuh.

“Komisi (KPPU) selanjutnya dapat menggunakan koefisien tertentu dalam menentukan jangka waktu pelanggaran per bulan, dalam jangka waktu pelanggaran selama 1 tahun tersebut,” tulis penjelasan pasal 12 ayat 1.

Dengan penghitungan sanksi seperti ini, maka semakin besar skala usaha perusahaan pelanggar persaingan tidak sehat, maka nominal denda juga akan berpotensi semakin besar.

Misalnya, jika suatu usaha memiliki penjualan hingga Rp 1 triliun, maka denda 10% mencapai Rp 100 miliar, empat kali lipat dari sanksi terberat yang diatur UU Nomor 5/1999.

Ketua KPPU Kodrat Wibowo beberapa waktu lalu mengatakan bahwa sanksi yang jauh lebih berat ini memang untuk mendisiplinkan pelaku usaha agar mematuhi aturan persaingan usaha yang sehat.

“Sanksi yang diberikan sebelumnya tidak cukup untuk memberi efek jera untuk perusahaan menengah dan besar, karena sanksi dipukul rata untuk setiap perusahaan tanpa melihat kemampuan mereka. Apalagi sanksi masih dibagi lagi di antara beberapa pihak yang melanggar, jadi lebih ringan,” ujarnya.