Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta membebaskan terdakwa kasus suap kontrak pertambangan, Samin Tan. Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut pemilik PT Borneo Lumbung Energi dan Metal Tbk (BLEM) tersebut divonis tiga tahun penjara ditambah denda sebesar Rp 250 juta subsider 6 bulan kurungan.
Hakim menilai Samin Tan tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi baik dalam dakwaan alternatif pertama maupun alternatif kedua. "Membebaskan terdakwa oleh karena itu dari dakwaan penuntut umum," kata Ketua Majelis Hakim Panji Surono dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (30/8).
Majelis hakim yang terdiri atas Panji Surono, Teguh Santoso, dan Sukartono menyatakan bahwa perbuatan pemberi gratifikasi belum diatur dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam kasus suap ini, Samin Tan didakwa memberikan uang kepada Eni Maulani Saragih yang menjabat anggota Komisi VII DPR periode 2014-2019 sebesar Rp 5 miliar dalam tiga tahap.
Samin Tan diduga memberikan uang kepada Eni Maulani Saragih agar membantu permasalahan pemutusan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) Generasi tiga antara PT AKT dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di Kalimantan Tengah.
"Yang diatur adalah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dalam batas 30 hari tidak melaporkan ke KPK sesuai Pasal 12 B sehingga karena Eni Maulani tidak melaporkan gratifikasi maka diancam dalam Pasal 12 B," kata Hakim Teguh Santosa.
Menurut Majelis Hakim, Pasal 12 B UU No. 31 tahun 1999 bukan merupakan delik suap tapi merupakan delik gratifikasi maka sangat tidak mungkin dalam gratifikasi itu mengancam pidana bagi yang memberikan.
"Sejak awal UU KPK dibentuk gratifikasi tidak dirancang untuk juga menjadi tindak pidana suap, gratifikasi menjadi perbuatan yang dilarang terjadi saat penerima gratifikasi tidak melaporkan hingga lewat tenggat waktu yang ditentukan UU," kata Hakim Teguh.
Perbuatan melawan hukum yang dilakukan Eni Maulani karena tidak melaporkan gratifikasi yang dia terima. "Sifat melawan hukum penerimaan gratifikasi ini ada dalam diri si penerima bukan dalam diri si pemberi. Sikap melawan hukum ini ditunjukkan kepada penerimanya hal inilah yang membedakan antara gratifikasi dan suap," ujar Hakim Teguh.
Delik gratifikasi, menurut hakim, menjadi sempurna ketika penyelenggara negara tersebut, yaitu Eni Maulani Saragih tidak melaporkan menerima sesuatu dalam waktu 30 hari sejak pemberian sesuatu diterima sebagaimana diatur dalam Pasal 12 B.
"Menimbang karena belum diatur dalam peraturan perundangan maka dikaitkan dengan pasal 1 ayat 1 KUHAP menyatakan pelaku perbuatan tidak akan dipidana kecuali dengan peraturan perundangan yang sudah ada maka ketentuan Pasal 12 B tidak ditujukan kepada pemberi sesuatu dan kepadanya tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya," jelas hakim.
Berbeda dengan Samin Tan, dalam putusan utusan PN Tipikor pada PN Jakarta Pusat Nomor: 100/Pid.Sus/TPK/2018/PN.Jkt Pst tanggal 1 Maret 2019, Eni Maulani Saragih divonis enam tahun penjara ditambah denda Rp 200 juta subsider 2 bulan kurungan ditambah kewajiban untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 5,87 miliar dan 40 ribu dolar Singapura karena terbukti menerima Rp 10,35 miliar, salah satunya menerima gratifikasi dari Samin Tan sejumlah Rp 5 miliar.
"Menimbang dalam putusan dimana eni maulani diputus melanggar pasal 12 huruf B ayat 1 dimana Eni menerima pemberian dari Samin Tan sejumlah Rp 5 miliar oleh karenanya terdakwa Samin Tan yang telah memberikan uang ke Eni Maulani Saragih tidak mungkin dimintakan pertanggungjawaban pidananya," ujar hakim.
Hakim juga menjelaskan bahwa Samin Tan adalah korban dari Eni Maulani Saragih. "Terdakwa Samin Tan adalah korban dari Eni Maulani Saragih yang meminta uang untuk membiayai pencalonan suaminya sebagai calon kepala daerah di kabupaten Temanggung Jawa Tengah," kata hakim.
Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK langsung menyatakan kasasi atas vonis bebas terhadap Samin Tan. "Kami menyatakan kasasi," kata jaksa Ronald Ferdinand Worotikan.