Rekor Tercepat, UU IKN Potensi Ikuti Jejak UU Cipta Kerja di MK

Muhammad Zaenuddin|Katadata
Suasana Rapat Paripurna ke-13 DPR RI Masa Persidangan III Tahun Sidang 2021-2022 di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (11/1/2022).
Penulis: Yuliawati
18/1/2022, 18.26 WIB

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sepakat mengesahkan Undang-Undang Ibu Kota Negara (IKN) dalam Rapat Paripurna pada Selasa (18/1). Pembahasan RUU IKN yang berlangsung singkat ini berpotensi bermasalah secara hukum formil. Nasibnya bisa mengikuti jejak UU Cipta Kerja yang dinyatakan inskontitusional bersyarat dalam putusan  Mahkamah Konstitusi.  

Panitia Khusus DPR membahas UU IKN yang terdiri dari 11 Bab dan 44 Pasal sejak 7 Desember 2021 hingga Selasa (18/1) dini hari.

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi), Lucius Karus, mencatat pembahasan RUU IKN hanya berlangsung dua minggu bila dikurangi masa reses DPR. "Pembahasan RUU IKN ini hanya seminggu sebelum DPR reses dan seminggu setelah reses," kata Lucius dalam diskusi virtual, Selasa (18/1).

Pembahasan RUU IKN dimulai dari Surat Presiden yang baru diterima DPR pada 3 Desember 2021. Kemudian DPR membentuk Panitia Khusus RUU IKN pada 7 Desember, kemudian dibahas hingga DPR memasuki masa reses pada 16 Desember 2021.

Pembahasan dilanjutkan setelah masa reses berakhir dan dimulainya masa sidang pada 11 Januari 2022. Hingga diselesaikan pada rapat maraton 16 jam pada 18 Januari. "Ini mungkin rekor tercepat DPR dalam membahas sebuah RUU, kalau Omnibus Law UU Cipta Kerja itu kan hanya sebulan," kata Lucius.

Dengan pembahasan yang singkat, Lucius menilai otomatis partisipasi publik menjadi terbatas. Padahal putusan MK yang memutuskan UU Cipta Kerja sebagai inskonstitusional bersyarat karena dianggap prosedur pembahasannya tak melibatkan partisipasi publik.

"Prosedur yang justru ditekankan oleh MK itu terkait dengan partisipasi publik di dalam proses pembahasan RUU antara DPR dan pemerintah," kata dia.

Lucius memandang seharusnya putusan mengenai UU Cipta Kerja ini menjadi pelajaran buat pemerintah dan DPR. "Setelah MK untuk pertama kalinya berani melakukan uji formil terhadap proses pembahasan RUU di DPR, jangan menganggap remeh prosedur pembahasan RUU."

Dia menilai, nasib UU IKN berpotensi mengikuti jejak UU Cipta Kerja bila ada yang mengajukan uji materi di MK. Ada potensi MK kembali memutuskan UU tersebut sebagai inkonstitusional bersyarat. "Saya rasa itu bisa jadi mimpi buruk ketika nanti ada kelompok masyarakat yang mengajukan judicial review ke MK dari sisi formil prosedurnya," kata Lucius.

Ekonom Faisal Basri menyatakan rencana mengajukan uji materi UU IKN, selain membuat petisi. Namun dia tak memaparkan secara detail poin apa yang akan disampaikan dalam gugatan tersebut. "Saya tidak anti pemindahan ibu kota tapi perlu ada persiapan rencana induk yang bagus melibatkan masyarakat," kata Faisal, hari ini.

DPR Bantah Pembahasan RUU IKN Tergesa-gesa

Adapun Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad membantah pembahasan RUU IKN dilakukan tergesa-gesa. Dia menyebut ilai pembahasan RUU IKN di Pansus dilakukan secara efisien sehingga berjalan dengan cepat dan lancar.

"Sebenarnya pembahasan RUU IKN tidak terlalu tergesa-gesa, namun dilakukan dengan efisien, nanti RUU TPKS seperti itu. (Pansus RUU) selama masa reses tetap bekerja," kata Dasco di Kompleks Parlemen.

Dia menilai, pembahasan RUU IKN dilakukan sangat dinamis dan terkadang dibahas bolak balik dari satu pasal ke pasal lain karena masih ada perdebatan untuk dicari titik temu.

Ketua Pansus RUU IKN Ahmad Doli Kurnia mengatakan dalam pembahasan di Pansus hanya fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menolak untuk membawa ke Rapat Paripurna. "Fraksi PKS menolak hasil RUU IKN dan menyerahkan pengambilan keputusan tingkat II pada rapat paripunra DPR RI," kata Doli di Rapat Paripurna, Selasa (18/1).

Fraksi PKS beranggapan rancangan payung hukum pemindahan ibu kota tersebut masih memiliki sejumlah kelemahan. Anggota Pansus RUU IKN dari PKS, Suryadi Jaya Purnama, mengatakan masalah dimulai dari pembahasan singkat hingga faktor substansi. Ia menyoroti adanya kemungkinan tidak ada perwakilan masyarakat di ibu kota baru.

“Ini tak hanya bertentangan dengan UUD 1945 tapi juga berpotensi melahirkan otoritarianisme,” kata Suryadi. Hal lainnya, belum ada penjelasan teknis yang mengatur nasib masyarakat adat hingga lingkungan hidup di ibu kota baru.

Reporter: Nuhansa Mikrefin