Pada Selasa, 12 April 2022, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menjadi UU TPKS. Pengesahan tersebut dilakukan setelah Ketua DPR, Puan Maharani meminta persetujuan setiap fraksi sebanyak dua kali.
Setelah mengesahkan UU TPKS, Puan mengatakan bahwa pengesahan tersebut merupakan hadiah untuk seluruh perempuan Indonesia, khususnya menjelang Hari Kartini. Lantas, apa saja pokok isi UU ini? Simak penjelasan berikut ini.
Isi UU TPKS
UU TPKS adalah undang-undang yang mengatur tentang tindak pidana kekerasan seksual. Adanya UU ini, harapannya bisa melindungi korban kekerasan seksual.
Dalam sidang paripurna, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), I Gusti Ayu Nintang Darmawati mengatakan bahwa UU TPKS merupakan landasan yang utuh, adil, dan formil bagi para korban kekerasan seksual. Dengan kata lain, UU ini mampu memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, khususnya korban kekerasan seksual.
Dalam UU baru ini, setidaknya ada 10 poin penting yang perlu dipahami. Berikut pejelasan lengkapnya.
1. Semua perilaku pelecehan seksual termasuk kekerasan seksual
UU TPKS menyebutkan bahwa segala perilaku pelecehan seksual termasuk dalam kekerasan seksual. Hal ini tertuang dalam Pasal 4 ayat 2 yang menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan tindakan non fisik berupa isyarat, tulisan, dan/atau perkataan kepada orang lain yang berhubungan dengan bagian tubuh seseorang dan terkait dengan keinginan seksual, dipidana karena pelecehan seksual non fisik.
Pelaku yang terbukti melakukan pelanggaran tersebut akan dipidana penjara paling lama sembilan bulan dan/atau denda maksimal Rp10 juta.
2. Memberikan perlindungan kepada korban
Isi UU TPKS lainnya yaitu memberikan perlindungan kepada korban termasuk korban revenge porn atau penyebaran konten pornografi dengan modul balas dendam kepada korban. Hal ini tertuang dalam Pasal 4 Ayat 1 yang menyebutkan setidaknya ada sembilan tindak pidana kekerasan seksual, antara lain.
- Pelecehan seksual non fisik.
- Pelecehan seksual fisik.
- Pemaksaan kontrasepsi.
- Pemaksaan sterilisasi.
- Pemaksaan perkawinan.
- Penyiksaan seksual.
- Eksploitasi seksual.
- Perbudakan seksual.
- Kekerasan seksual berbasis elektronik.
3. Memberikan denda dan pidana terhadap pemaksaan hubungan seksual
Pemaksaan hubungan seksual juga termasuk tindak kekerasan seksual. Dalam UU TPKS, tindakan ini bisa dikenakan denda atau pidana. Pelaku tindak kekerasan seksual ini akan dikenakan pidana penjara paling lama 9 tahun dan/atau denda Rp200 juta. Hal tersebut tertuang dalam UU TPKS pasal 6.
4. Pidana penjara atau denda untuk tindak pemaksaan perkawinan
Pemaksaan perkawinan termasuk didalamnya pemakaan perkawinan antara korban dan pelaku pemerkosaan juga termasuk tidak pidana. Ketentuan tersebut tertuang dalam UU TPKS Pasal 10. Pelaku tindak pidana ini terancam hukuman penjara maksimal 9 tahun dan/atau denda maksimal Rp200 juta.
5. Terdapat pidana tambahan untuk pelaku kekerasan seksual
Di dalam UU TPKS Pasal 11, disebutkan bahwa pelaku tindak kekerasan seksual tidak hanya mendapat hukuman penjara dan denda, namun terancam mendapatkan pidana tambahan. Adapun pidana tambahan yang dimaksud, sebagai berikut:
- Pencabutan hak asuh anak atau pengampunan.
- Pengumuman identitas pelaku.
- Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana.
- Pembayaran restitusi.
6. Ancaman pidana dan denda untuk korporasi yang melakukan TPKS
Tindak pidana kekerasan seksual tidak hanya dilakukan individu saja, namun juga bisa dilakukan oleh pihak korporasi. Dalam pasal 13 UU TPKS diterangkan bahwa korporasi yang melakukan kekerasan seksual akan dikenakan denda sekitar Rp200 juta hingga Rp2 miliar.
Tak hanya itu, korporasi yang melakukan TPKS juga terancam mendapatkan pidana tambahan, berupa:
- Pembayaran restitusi.
- Pembiayaan pelatihan kerja.
- Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak kekerasan seksual.
- Pencabutan izin tertentu.
- Penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha atau kegiatan korporasi.
- Permbubaran korporasi.
7. Keterangan saksi/korban dan satu alat bukti cukup untuk menentukan terdakwa
Biasanya untuk menentukan dakwaan terhadap pelaku tindak kejahatan membutuhkan keterangan saksi/korban atau alat bukti yang lengkap. Namun, dalam UU TPKS, satu keterangan dan barang bukti sudah cukup untuk menentukan dakwaan terhadap seseorang. Adapun alat bukti yang sah untuk membuktikan TPKS, yaitu:
- Keterangan saksi.
- Keterangan para ahli.
- Surat.
- Petunjuk.
- Keterangan terdakwa.
- Alat bukti lain seperti informasi dan/atau dokumen elektronik yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.
8. Korban memiliki hak untuk mendapatkan restitusi dan layanan pemulihan
Poin penting lainnya yang ada dalam UU TPKS yaitu korban kekerasan seksual berhak mendapatkan restitusi dan layanan pemulihan. Restitusi yang dimaksud, antara lain:
- Ganti rugi atau kehilangan kekayaan atau penghasilan.
- Ganti rugi yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berhubungan langsung sebagai akibat dari tindak pidana.
- Penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologi.
- Ganti rugi atas kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat tindak pidana.
9. Korban berhak atas pendampingan
Selain berhak atas restitusi dan layanan pemulihan, dalam UU TPKS juga dijelaskan bahwa korban kekerasan seksual berhak atas pendampingan. Nantinya, UPTD PPAD atau lembaga penyedia layanan wajib memberikan pendampingan dan layanan yang dibutuhkan kroban serta membuat laporan kepolisian.
10. Tidak bisa mengguanakn pendekatan restorative justice
Restorative justice adalah penyelesaian perkara yang menitikberatan kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku dan korban. Hal ini berguna untuk menghindari upaya penyelesaian masalah dengan menggunakan uang. Tidak diperkenankannya restorative justice harapannya para pelaku bisa jera dan tidak mengulangi perbuatannya.
Kekerasan Seksual di Indonesia
Kasus kekerasan seksual di Indonesia sudah ada sejak dahulu. Jenis tindak kekerasan seksual yang ada di Indonesia cukup beragam. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melaporkan bahwa, kasus kekerasaan seksual yang tercatat di lembaga layanan mencapai 2.363 kasus pada 2021.
Dari sekian banyak kasus yang tercatat, kasus perkosaan menjadi tindak kekerasan seksual yang paling banyak. Mirisnya, kasus pemerkosaan dalam kerwakinan atau marital rape juga cukup tinggi bahkan menempati posisi kedua.
Adapun jenis kekerasan seksual terhadap perempuan sepanjang 2021, tersaji dalam data berikut ini.