Kritik Anggota DPR dan DPD: Perppu Ciptaker Bahaya Bagi Demokrasi

ANTARA FOTO/M Ibnu Chazar/rwa.
Peserta pelatihan mengikir dasar di Balai Latihan Kerja, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Karawang, Jawa Barat, Senin (18/4/2022).
Penulis: Ade Rosman
2/1/2023, 17.44 WIB

Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja pada Jumat (30/12) lalu. Beleid tersebut menggugurkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai inkonstitusional bersyarat pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. 

Berdasarkan penelusuran Katadata.co.id, lahirnya Perppu Cipta Kerja ini, turut memberikan dampak terhadap 75 Undang-undang lain. Aturan tersebut ttersebar pada berbagai bidang, mulai dari ketenagakerjaan, pengelolaan lingkungan, bangunan gedung, budidaya perikanan, kehutanan, ketenagalistrikan, hingga persoalan perdagangan.

Menanggapi lahirnya Perppu ini, Anggota Komisi IX DPR RI dari fraksi PKS, Netty Prasetiyani Aher, menilai penerbitan Perppu kedua tahun lalu itu, sebagai cara pemerintah untuk menyiasati keputusan MK, yang meminta agar UU Cipta Kerja diperbaiki dalam kurun waktu dua tahun.

Menurut Netty,  MK telah menyatakan UU Cipta Kerja cacat secara formil, karena tata cara pembentukannya tidak berdasarkan kepada proses dan metode yang pasti. Selain itu, terjadi perubahan penulisan beberapa substansi setelah adanya persetujuan bersama antara DPR dan pemerintah.

Netty merasa sikap pemerintah untuk membentuk Perppu bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, sehingga meminta Presiden Jokowi untuk memperbaiki terlebih dulu status mengenai inkonstitusionalitas bersyarat pada beleid Undang-Undang Cipta Kerja sebelumnya, sesuai keputusan MK.

Hal ini untuk menghindari ketidakpastian hukum serta dampak hukum lebih besar yang ditimbulkan Perppu.

“Eloknya ini dulu yang diperbaiki, sehingga status UU Cipta Kerja yang masih inkonstitusionalitas bersyarat itu bisa berubah. Jangan justru arogan dengan menerbitkan Perppu,” jelas Netty di Jakarta, Senin (2/1).

Lebih jauh, Netty berpendapat, penerbitan Perppu ini menunjukkan sikap pemerintah yang tidak menghormati keputusan MK selaku lembaga yudikatif. Sikap seperti ini dinilainya berbahaya bagi proses demokrasi.

“Ketika lembaga yudikatif tidak lagi dihormati, maka sistem demokrasi yang sudah kita bangun puluhan tahun ini bisa kacau,” ungkapnya.

Pada kesempatan terpisah, Anggota DPD RI asal Sulawesi Tengah, Abdul Rachman Thaha, menilai Perppu Ciptaker menunjukkan tanda-tanda otoritarianisme. Sebab, penyusunan Perppu tersebut ia nilai telah mengabaikan prinsip kehati-hatian, kegentingan yang objektif, serta melibatkan publik melalui lembaga perwakilan dan diskusi pada forum-forum terbuka sebagaimana keinginan MK.

Ia menilai keputusan mengeluarkan Perppu tidak menunjukan sikap rasional yang bertanggung jawab dalam menanggapi putusan MK. "Saya pikir, rakyat dan Mahkamah Konstitusi patut tersinggung," kata Abdul di Jakarta, Senin (2/1).

Lebih jauh, Abdul mendesak seluruh pimpinan DPD RI untuk menggelar pertemuan dengan Presiden Jokowi di Istana, guna meminta agar Presiden melaksanakan putusan MK terhadap Undang-undang Cipta Kerja, dengan langkah-langkah yang lebih substantif dan bertanggung jawab.

Setelah Perppu ini terbit, beragam pro dan kontra bermunculan di publik. Beragam organisasi masyarakat mengecam lahirnya Perppu Cipta Kerja, karena menganggap proses kelahirannya tidak sesuai konstitusi. Hal ini mengacu kepada syarat lahirnya perppu, yakni adanya kegentingan yang memaksa, kekosongan hukum, dan proses pembuatannya tidak bisa dengan proses pembentukan UU pada umumnya.

Sebelumnya pemerintah telah mengungkapkan alasan yang mendorong terbitnya Perppu Cipta Kerja. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, menjelaskan UU Cipta Kerja harus digunakan untuk menghindari krisis yang diproyeksi terjadi tahun ini.

Selain itu, MK telah menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat pada 2021, dan harus direvisi dengan Undang-Undang baru sebelum 2023. Sementara UU Cipta Kerja harus digunakan dalam waktu dekat, dan jika menunggu proses pembuatan undang-undang akan memakan waktu lama dengan proses panjang. 

Hal senada juga diungkapkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto. Menurutnya keadaan mendesak yang dimaksud adalah percepatan antisipasi negara terhadap kondisi global, baik terkait ekonomi maupun konflik geopolitik.

Reporter: Ade Rosman