Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti menilai pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD mengenai penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja merupakan hak subjektif presiden kurang tepat. Meski tidak menampik hal tersebut, Bivitri mengatakan hak subjektif presiden tetap harus disesuaikan dengan konstitusi yang diamini di Indonesia.
"Kita kan bukan negara monarki ya, jadi hak subjektif presiden itu tidak bisa dipahami seakan-akan itu titah raja. Tetap harus ada ukurannya," kata Bivitri kepada Katadata, Senin (2/1).
Bivitri mengatakan, bukan berarti segala titah presiden merupakan hukum. Menurutnya, bangsa Indonesia akan masuk rezim otoritarianisme bila menempatkan pernyataan presiden sebagai titah.
Sebelumnya, dalam unggahan di akun Instagram pribadinya pada Jumat (30/12) lalu, Mahfud mengatakan bahwa penentuan keadaan genting dalam penerbitan Perppu merupakan hak subjektif presiden.
"Berdasar teori manapun, penentuan keadaan genting itu merupakan hak subjektif Presiden yang nanti akan dijelaskan dalam proses legislasi pada masa sidang DPR berikutnya," kata Mahfud.
Di sisi lain, Bivitru juga berpandangan penerbitan Perppu Cipta Kerja tidak masuk dalam kegentingan yang memaksa. Dia menilai konstruksi konstitusional Perppu berbeda dengan perundang-undangan seperti biasanya yang terdapat dalam pasal 20 Undang-undang Dasar (UUD). Sedangkan, Perppu diletakkan secara terpisah di pasal 22 UUD.
Ia mengatakan, Perppu tidak boleh dipakai dalam situasi normal. Perppu hanya bisa dikeluarkan dalam artian harus memenuhi ihwal kegentingan memaksa. Sedangkan, untuk alasan terdampak dari perang Rusia-Ukraina—yang jadi salah satu dalih terbitnya Perppu Ciptaker—tidak termasuk dalam ihwal kegentingan memaksa yang dikonstruksikan oleh UUD.
"Karena yang dibayangkan oleh pembuat UUD pada waktu itu, ketika membuat pasal 22 adalah kegentingannya serius sekali gitu. Ibaratnya itu kalau undangnya gak ada, maka besok tuh Indonesia bangkrut misalnya, atau Indonesia musnah, misalnya gitu," kata Bivitri.
Bivitri tidak menampik bahwa Indonesia terkena dampak perang Rusia-Ukraina. Namun, ia mengatakan hal tersebut belum masuk ke dalam satu kategori yang di dalam hukum tata negara dinamakan 'hukum tata negara darurat'.
Dia menggambarkan yang masuk dalam kategori tersebut apabila situasinya bencana alam atau perang yang luar biasa. Sedangkan, perang Rusia-Ukraina dampaknya tidak langsung dirasakan oleh Indonesia.
"Dengan adanya inflasi, krisis ekonomi, bukan berarti kan itu misalnya ya Perppu keluar tanggal 30, kalau gak ada keluar Perppu tanggal 30, tanggal 31 Desember Indonesia bangkrut, kan enggak. orang pemerintah masih bisa memfasilitasi pesta-pesta tahun baru kok," katanya.
Lebih jauh ia melihat situasi Indonesia yang masih bisa berjuang di tengah krisis yang disebutkan, maka seharusnya dibuat UU bukan Perppu. Pembahasan Perppu sesuai pasal 20 UUD, dengan mengundang DPR ketika masa reses selesai yang mana kurang lebih dari sepekan lagi.
Selain itu, ia juga mengatakan menurut putusan MK 135 Tahun 2009, yang menegaskan kegentingan memaksa tersebut bilamana ada kekosongan hukum yang sangat harus diatasi secepat mungkin.