Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berharap bunga teknologi finansial (fintech) di Indonesia terjangkau bagi masyarakat. Namun ada beberapa faktor agar bunga pinjaman online atau pinjol resmi turun.
“Kami meminta perusahaan pinjaman online atau fintech legal memberikan suku bunga yang lebih murah," kata Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso dalam keterangan resmi yang diterima Katadata.co.id, Senin (18/10).
Bunga fintech lending untuk pinjaman produktif saat ini 16% – 30% per tahun. Sedangkan bunga pinjaman konsumtif dibatasi 0,8% per hari dengan maksimal bunga dan biaya lainnya tidak lebih dari 100%. Ini artinya, bunga, denda, dan biaya lainnya tidak melebihi utang pokok.
Katadata.co.id meminta tanggapan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) terkait potensi bunga turun. Namun belum ada tanggapan hingga berita ini dirilis.
Sedangkan Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, risiko kredit macet berpengaruh terhadap bunga fintech. Sedangkan risiko gagal bayar pinjaman meningkat di tengah pandemi corona.
Selain itu, fintech menggaet investor baik individu maupun institusi untuk bisa memberikan pinjaman. Oleh karena itu, pelaku usaha di sektor ini harus mempertimbangkan imbal hasil yang menarik minat investor.
Meski begitu, Bhima menilai bahwa jarak antara imbal hasil berinvestasi di deposito dengan di fintech lending sangat jauh. “Andaikan bunga fintech turun 5%, perbedaannya masih lebar,” kata dia kepada Katadata.co.id, Senin (18/10).
Faktor lainnya yakni sektor pinjaman. “Bunga ini kan mahal karena banyak (pemain) yang masuk ke pinjaman personal guarantee untuk keperluan konsumsi,” kata dia. “Ini artinya, OJK harus tegas membatasi fintech yang masuk ke sektor pinjaman konsumsi.”
Ia mencatat, sebanyak 65% pinjaman fintech untuk keperluan konsumsi.
Faktor lainnya yaitu pengelolaan risiko kredit. AFPI memiliki pusat data yang disebut pusdafil, yang memungkinkan anggota mengecek peminjam ‘nakal’.
Pusdafil akan menyaring para peminjam, sehingga mengetahui fintech mana saja yang sudah dipinjam dan jumlah nominal pinjaman. Dengan demikian, potensi gagal bayar bisa diketahui.
Pada tahun lalu, Pusdafil telah menjaring 26 juta data peminjam. Data yang dibagikan oleh fintech lending melalui pusdafil bukan berupa nama pengguna, melainkan Nomor Induk Kependudukan (NIK).
Ketua Umum AFPI Adrian Gunadi mengatakan, keberadaan Pusdafil juga semakin penting di masa pandemi Covid-19. “Ini untuk menurunkan risiko pinjaman bermasalah,” kata dia dikutip dari siaran pers, awal Agustus (4/8).
Apalagi, fintech lending akan semakin selektif dalam memberikan pinjaman di tengah pandemi corona.