Perusahaan e-commerce, Bukalapak berencana menjadikan mitra pelapak sebagai agen perbankan. Unicorn Tanah Air ini pun sudah bekerja sama dengan Bank Mandiri.
Saat ini, perusahaan memiliki enam juta pelapak di platform business to costumer (B2C) dengan 92 juta pengguna. Sedangkan pelapak yang akan dijadikan agen perbankan, yakni yang bergabung di platform business to business (B2B).
Dalam hal model bisnis B2B, Bukalapak telah menggaet hampir lima juta warung dan agen mitra. (Baca: Bank Mandiri Ungkap Kekurangan Penyaluran Pembiayaan Lewat Bukalapak)
Pada Februari lalu, perusahaan bekerja sama dengan Bank Mandiri memberdayakan 1,5 juta warung dan agen Mitra untuk menjadi agen layanan keuangan tanpa kantor, atau disebut lakupandai.
“Kami bekerja sama dengan Bank Mandiri untuk mengubah beberapa warung menjadi agen perbankan tanpa cabang,” kata CEO Bukalapak Rachmat Kaimuddin dikutip dari Reuters, Jumat (10/7).
Ia mengungkapkan, lima juta warung mitra Bukalapak telah mentransaksikan lebih dari US$ 70 miliar dalam setahun. Nilainya sekitar seperlima dari pasar ritel di Indonesia yang mencapai Rp 380 miliar.
(Baca: Potensi Besar Bank Digital yang Makin Dilirik Banyak Pemain)
Melalui warung, Bukalapak dan Bank Mandiri menyasar masyarakat yang belum memiliki rekening. Berdasarkan data Bank Dunia, jumlahnya lebih dari setengah penduduk Indonesia.
Nantinya, pengguna layanan dapat menyetor dan menarik uang tunai di warung. Selain itu, dapat mengirim uang maupun membayar tagihan.
Sedangkan para warung, bank dan Bukalapak masing-masing akan mendapatkan potongan biaya. Hanya, Rachmat tidak mengungkapkan target pendapatan dari kemitraan tersebut.
Rachmat memang sempat bekerja sebagai Direktur Keuangan dan Perencanaan Bank Bukopin sejak 2018. Ia diangkat menjadi CEO Bukalapak menggantikan Achmad Zaky, pada akhir tahun lalu.
(Baca: Rachmat Kaimuddin, CEO Baru Pilihan Para Pendiri dan Direksi Bukalapak)
Terkait potensi lakupandai, kajian Google, Temasek dan Bain pada tahun lalu menunjukkan, nilai dari layanan keuangan digital di Asia Tenggara diproyeksi US$ 38 miliar sampai US$ 60 miliar (Rp 554,2 triliun-Rp 875 triliun) per tahun pada 2025.
Sedangkan khusus untuk Indonesia bisa terlihat pada Databoks berikut:
Layanan keuangan digital yang dimaksud termasuk bank, Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP), asuransi, manajemen aset hingga teknologi finansial (fintech). (Baca: Bukalapak Gaet GrabKios Salurkan Produk Digital di 5 Juta Agen Warung)
Di satu sisi, Euromonitor International juga sempat mengungkapkan potensi bisnis warung di Indonesia, India, dan Filipina. Dari total nilai pasar retail di ketiga negara US$ 521 miliar, sebanyak US$ 479,3 miliar atau 92 % di antaranya merupakan transaksi lewat toko kelontong pada 2018.
Hal itu terlihat pada bagan Databoks di bawah ini:
Berdasarkan kedua kajian tersebut, tidak heran jika Bukalapak berencana merambah layanan lakupandai. (Baca: Potensi Nilai Keuangan Digital Asia Tenggara Rp 840 Triliun pada 2025)
Apalagi, berdasarkan riset CLSA, biaya akuisisi konsumen (customer acquisition costs/CACs) dengan skema online to offline (O2O) seperti mitra warung Bukalapak, hanya 10-20% dibandingkan CAC normal. Besarannya sekitar US$ 2 per pelanggan.
Sebelum ada pandemi corona, warung diperkirakan menjadi medan perang baru bagi para unicorn dan decacorn di Tanah Air. (Baca: Perang Baru Para Unicorn dan Decacorn di Warung Kelontong)