Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengimbau perusahaan teknologi finansial pembiayaan (fintech lending) untuk menyalurkan minimal 15% dari total pinjaman ke peminjam di luar Pulau Jawa. Selain itu, setidaknya 25% disalurkan ke sektor produktif seperti Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) atau pertanian.
“Itu bertujuan agar fintech lending tak hanya memberikan pinjaman tetapi juga memberikan nilai tambah bagi masyarakat," ujar Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi kepada Katadata.co.id di Jakarta, Rabu (22/1).
OJK mencatat, 90% pinjaman dari fintech lending disalurkan ke peminjam di Pulau Jawa per Mei 2019. (Baca: OJK Sebut 90% Penyaluran Pinjaman Masih di Pulau Jawa)
Meski begitu, OJK tidak memberikan sanksi kepada fintech lending yang tidak mengikuti arahan tersebut. Regulator keuangan itu justru menyiapkan lima strategi supaya industri ini menjadi alternatif pendanaan yang sehat bagi masyarakat.
Kelima strategi itu yaitu sosialisasi, konsolidasi, kolaborasi, penetrasi, dan nilai tambah. Hendrikus menjelaskan, OJK bekerja sama dengan regulator dan perusahaan terkait dalam hal pemanfaatan tanda tangan digital, pajak hingga perlindungan data.
Selain itu, OJK mendorong fintech lending bekerja sama dengan instansi keuangan lainnya seperti perbankan. (Baca: Target Salurkan Pinjaman Rp 9,6 T, Fintech DanaRupiah Rambah UMKM)
Ketua Harian Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Kuseryansyah sepakat dengan imbauan OJK tersebut. “Itu juga dalam rangka mitigasi risiko, sehingga (fintech lending) tidak hanya mengandalkan satu produk pinjaman,” kata dia.
Ia menilai, 25% penyaluran pinjaman ke sektor produktif bisa menjadi salah satu kunci manajemen risiko (risk management) perusahaan. Sebab, ada diversifikasi layanan.
(Baca: Asosiasi Optimistis Fintech Salurkan Pinjaman Rp 150 Triliun di 2020)