OJK: Penerapan Mata Uang Digital Masih Perlu Kajian

ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso
Penulis: Desy Setyowati
Editor: Pingit Aria
23/7/2018, 17.07 WIB

Kabar baiknya, riset dari Angela Walch, Professor di St. Mary’s University School of Law menunjukkan bahwa penyesuaian legalitas sistem pembayaran digital di negara yang pasarnya tengah berkembang (emerging market) relatif lebih mudah ketimbang Amerika Serikat (AS). Sebab, di negeri Paman Sam itu prosesnya lebih panjang.

Menurut Wimboh, kedua alat pembayaran itu perlu dikaji guna melengkapi ekosistem sistem pembayaran yang terintegrasi atau Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) yang baru saja dirilis oleh BI. Ia menegaskan, bahwa ia bersama Pemerintah, BI, akademisi, dan lembaga internasional berkomitmen menerapkan CBDC ke arah yang dikehendaki dan bermanfaat bagi masyarakat luas.

(Baca juga: OJK Hukum Fintech RupiahPlus karena Langgar Prosedur Penagihan)

Hal ini ia sampaikan dalam seminar tentang Standarisasi Mata Uang Digital Fiat (DFC) dan penerapannya. Seminar ini diselenggarakan oleh International Telecommunication Union (ITU) dan Cornell Research Academy di Cornell Tech, New York. Seminar ini membahas tren teknologi terbaru dan inovasi penerbitan mata uang digital dan pengaruhnya terhadap ekonomi dan stabilitas sistem keuangan.

Adapun, BI sudah mengkaji kedua alat pembayaran itu sejak awal tahun. Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI Onny Widjanarko sempat mengatakan, beberapa bank sentral di dunia juga mengkaji implikasi kedua alat pembayaran itu dan blockchain terhadap stabilitas di Indonesia.

Halaman:
Reporter: Desy Setyowati