Omnibus Law Fokus Pekerja Asing, Google Cetak 12 Ribu Ahli Digital RI

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Ilustrasi, pameran startup teknologi dan inovasi industri anak negeri di Hall B JCC, Jakarta, pada Kamis (3/10/2019).
3/11/2020, 14.10 WIB

Undang-undang atau UU Omnibus Law Cipta Kerja yang diteken oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) Senin (2/11), mempermudah perizinan tenaga kerja asing, termasuk di startup. Di tengah kontroversi ini, raksasa teknologi asal Amerika Serikat (AS) Google justru mencetak 12 ribu talenta digital di Indonesia.

Country Director Google Cloud Indonesia Megawaty Khie mengatakan, 12 ribu talenta digital itu sudah mengikuti pelatihan sejak Juni lalu melalui program Juara Google Cloud Platform (GCP). “Mereka dilatih berbagai kemampuan, termasuk komputasi awan (cloud),” katanya dalam acara virtual Wisuda Juara GCP, Selasa (3/11).

Ia mengatakan bahwa permintaan layanan cloud meningkat di berbagai sektor baik startup, telekomunikasi, perbankan hingga retail. Oleh karena itu, Google meluncurkan pusat data (data center) cloud di Jakarta pada Juni lalu. "Ini untuk memenuhi kebutuhan," katanya.

Namun, infrastruktur saja tidak cukup. Kebutuhan talenta digital yang menguasai teknologi cloud juga meningkat.

Berdasarkan data Boston Consulting Group, butuh 350 ribu tenaga kerja baru hingga 2023, apabila adopsi cloud signifikan di Indonesia. Begitu juga data marketplace pencarian kerja, Ekrut yang mencatat ada kenaikan permintaan sumber daya manusia (SDM) di bidang teknologi informasi pada tahun ini.

Secara rinci, kebutuhan data analyst dan scientists naik 76,59%, pemasaran merek 66%, perencana strategi 62,78%, full stack engineer 50,85%, dan keamanan siber 23,91%. Gaji yang ditawarkan mulai dari Rp 19 juta hingga Rp 20 juta per bulan untuk pekerja berpengalaman tiga sampai lima tahun.

Data serupa juga disampaikan oleh perusahaan penyedia situs lowongan kerja hingga menyuplai calon pekerja, TopKarir. Ada lima jenis pekerjaan yang diburu oleh banyak korporasi, yakni staf penjualan, pemasaran, pelayanan konsumen, serta data analisis dan scientists.

Oleh karena itu, Google memberikan pelatihan kepada masyarakat Indonesia. Selain itu, menggaet Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk menggelar Digital Talent Scholarship guna melatih 1.000 orang.

Raksasa teknologi itu juga membangun 150 ribu laboratorium pelatihan untuk memenuhi kebutuhan talenta digital di Indonesia.

Deputi Bidang Ekonomi Digital dan Produk Kreatif Kementerian Pariwisata dan Ekokomi Kreatif (Kemenparekraf) Muhammad Neil El Himam mengatakan, beberapa perusahaan mengeluhkan kemampuan talenta digital lulusan universitas di Indonesia yang tidak sesuai dengan kebutuhan industri. “Alhasil, butuh dilatih kembali sebelum bekerja atau perusahaan terpaksa merekrut talenta digital asing," katanya.

Ia menilai, perlu ada pelatihan atau inkubasi talenta digital dari hulu ke hilir, serta perkotaan hingga perdesaan. “Ini agar talenta digital siap berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi nasional," kata Neil.

Di satu sisi, pemerintah justru mempermudah izin penggunaan tenaga kerja asing di startup melalui UU Omnibus Law. Berdasarkan data McKinsey and Company, Indonesia memang diperkirakan kekurangan 600 ribu talenta digital setiap tahunnya atau 9 juta pada 2030.

Dalam salinan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja berisi 1.187 halaman yang diterima oleh Katadata.co.id, ada beberapa perubahan aturan UU Ketenagakerjaan. Salah satunya Pasal 42 ayat 1, menjadi berbunyi, “setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki pengesahan rencana penggunaan dari pemerintah pusat."

Sebelumnya, perusahaan harus memiliki izin tertulis dari menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Kemudian pada ayat 3 disebutkan, pemerintah menambahkan pihak yang bebas dari persyaratan sebagaimana tercantum di ayat 1. Sebelumnya, ini hanya berlaku bagi perwakilan negara asing yang menggunakan pekerja dari luar negeri sebagai pegawai diplomatik dan konsuler.

Pada UU Omnibus Law, privilese itu berlaku juga untuk direksi atau komisaris dengan kepemilikan saham tertentu. Selain itu, bagi pemegang saham dan tenaga kerja asing yang dibutuhkan oleh pemberi kerja pada jenis kegiatan produksi yang terhenti karena keadaan darurat, vokasi, startup, kunjungan bisnis, dan penelitian untuk jangka waktu tertentu.

Pada awal tahun, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menyampaikan bahwa pemerintah tetap akan mengatur perihal transfer teknologi dari pekerja asing di dalam UU Omnibus Law. "Untuk jabatan-jabatan tertentu yang memang kita tidak memiliki ahlinya diharapkan ada transfer pengetahuan,” katanya di kompleks Istana Kepresidenan, Februari lalu (17/2). 

Namun, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bima Yudhistira mengatakan, mengatasi defisit talenta digital seharusnya dengan menyesuaikan kurikulum perguruan tinggi. Bukan dengan mempermudah izin tenaga kerja asing.

Apalagi, ia mencatat ada 50 ribu hingga 70 ribu lulusan IT per tahun di Indonesia. "Kalau permasalahannya skill missmatch, ini tugas perguruan tinggi dan pemerintah untuk menyesuaikan dengan kebutuhan industri. Jalan pintas dengan memudahkan pekerja asing masuk tanpa rencana penggunaan dan izin, justru blunder bagi serapan tenaga kerja lokal di startup,” ujar Bima kepada Katadata.co.id, Oktober lalu (15/10).

Hal senada disampaikan oleh Co-Founder Markoding Amanda Simandjuntak. Ia menilai bahwa defisit talenta digital terjadi karena kurikulum pendidikan belum sesuai dengan kebutuhan industri.

Ia mengatakan, pelajaran terkait teknologi informatika (IT) di Tanah Air tertinggal dibandingkan negara lain. Ia mencontohkan, beberapa sekolah masih berfokus mempelajari Microsoft Office.

Bahasa pemrograman pun masih memakai Pascal. "Ini tidak relevan dengan kebutuhan industri saat ini,” Amanda dalam acara M-Class: Meraih Sukses di Era Digital dengan Belajar Coding, Oktober lalu (16/10).

Oleh karena itu, ia mencatat hanya 56% lulusan IT yang diserap oleh perusahaan. "Ada kesenjangan kemampuan," kata dia.

Reporter: Fahmi Ahmad Burhan