Unicorn Indonesia Menuju Era Meraih Untung

123rf.com
Ilustrasi. Deretan unicorn Indonesia seperti Gojek, Tokopedia, Traveloka, Bukalapak, dan OVO mulai mengejar keuntungan.
Penulis: Desy Setyowati
16/11/2020, 15.30 WIB

Kota tingkat dua yang diincar seperti Yogyakarta, Manado, Solo, Palembang, dan Pekanbaru. "Fokus kami selalu pada UMKM, serta kota-kota tier dua," kata CEO Bukalapak Rachmat Kaimuddin dikutip dari Tech In Asia, Oktober lalu (21/10).

Strategi itu merupakan fokus Bukalapak sejak awal, karena e-commerce mendominasi kota metropolitan. "Kami memberi kesempatan UMKM di tier dua untuk bersaing. Ini isu yang kami lihat dan terus cari solusinya," kata dia. "Sejauh ini, kami berada di jalur yang benar."

Sejauh ini, hampir 70% bisnis Bukalapak dijalankan di luar kota tier satu. "Kami bertahun-tahun membangun mitra di kota ini (luar tier satu). Mayoritas pengguna juga di sana," ujar Presiden Bukalapak Teddy Oetomo.

Selain itu, Bukalapak berfokus menyediakan beragam layanan superapp. Unicorn itu menyediakan beragam layanan seperti fintech, investasi hingga konsultasi hukum.

Dengan cara itu, perusahaan optimistis bisa meraup profit dan tidak lagi berfokus pada strategi 'bakar uang'. Teddy mengatakan, bisnis perusahaan tetap tumbuh meski tak lagi gencar berpromosi. 

"Kami mengurangi bakar uang masif, dan pangsa pasar relatif stabil," ujar dia. Bahkan, perusahaan mencatatkan pertumbuhan pendapatan sebelum bunga, pajak, dan amortisasi (EBITDA) sebesar 60% pada kuartal II tahun ini dibandingkan akhir 2018.

Perusahaan juga tidak ‘ngoyo’ mengejar tingkat kunjungan ke platform. Bukalapak justru berfokus memaksimalkan inovasi produk yang menyasar sektor UMKM, khususnya warung.  

Sama seperti GoPay, OVO mencatatkan peningkatan transaksi selama pagebluk virus corona. Pembayaran e-commerce misalnya, naik 110%. Lalu, jasa pengiriman makanan naik 15% lebih dan pencarian dana pinjaman hampir 50%. Jumlah penggunanya juga tumbuh 276%.

Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), OVO bahkan memimpin dengan 20% pangsa pasar uang elektronik di Indonesia pada tahun lalu. Unicorn ini mengalahkan GoPay hingga Bank Mandiri dan BCA, sebagaimana Tabel berikut:

20152019
PerusahaanPangsa pasar %PerusahaanPangsa pasar %
Bank Mandiri20OVO20
BCA19Bank Mandiri19
XL Axiata19GoPay19
BRI10DANA10
Telkomsel10BCA10
Bank Mega1,1BRI6,3
BNI1LinkAja5,8
Bank DKI0,8ShopeePay3,7
Indosat0,4BNI1,3
CIMB Niaga0,1Doku1,2

Sumber: BI

Pada akhir 2019, Presiden Direktur OVO Karaniya Dharmasaputra mengakui bahwa perusahaan merugi dalam dua tahun terakhir. Namun, ia optimistis dapat meraup untung dan tumbuh berkelanjutan.

“Ini kan lahan subur. OVO dan pemain fintech lainnya seperti GoPay dan DANA bisa sangat tumbuh berkelanjutan dan untung,” kata Karaniya disela-sela acara ‘Top 20 Financial Insititution 2019, dikutip dari Antara pada Desember 2019 (11/12/2019).

Sedangkan sektor pariwisata sangat terpukul pandemi corona, sehingga berpengaruh terhadap bisnis Traveloka. Meski begitu, President Traveloka Group Operations Henry Hendrawan optimistis akan mencapai titik impas (break even point/BEP) pada akhir tahun atau awal 2021, jika industri perjalanan pulih setidaknya 50% dibandingkan sebelum ada Covid-19. Selain itu, akan segera meraih keuntungan.

Saat ini, bisnisnya juga mulai pulih. “Di tiga pasar domestik yang kami miliki yakni Indonesia, Thailand, dan Vietnam, pemulihan berjalan kuat,” kata Henry dikutip dari Tech In Asia, Oktober lalu (20/10).

Di Indonesia, transaksi hotel mencapai sekitar 70-75% dibandingkan sebelum ada virus corona. Ini sejalan dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus, sebagaimana Databoks berikut:

Peringatan dari Para Investor agar Tak ‘Bakar Uang’

Berdasarkan laporan Google, Temasek, dan Bain and Company bertajuk e-Conomy SEA 2020, pendanaan ke para unicorn Asia Tenggara terus menurun sejak tahun lalu. Startup dengan valuasi jumbo pun didorong untuk mencatatkan keuntungan.

Setidaknya ada 12 unicorn dan decacorn di regional. Dana segar yang mengalir ke startup jumbo ini mencapai US$ 8,7 miliar pada 2018. Nilainya menurun menjadi US$ 5,6 miliar pada tahun lalu.

Sedangkan sepanjang semester I tahun ini hanya US$ 3 miliar. Putaran pendanaan seri C dan D juga menurun dari 19 pada paruh pertama 2019 menjadi 17.

“Mengamankan pendanaan dalam waktu dekat kemungkinan akan semakin sulit karena investor menghindari bisnis yang menghabiskan banyak uang,” kata Chief Investment Strategist and Head, South East Asia, Temasek Rohit Sipahimalani dikutip dari siaran resminya, pekan lalu (10/11). “Jalan menuju profitabilitas telah dimulai dengan sungguh-sungguh.”

Rohit mengatakan, 'bakar uang' untuk mendongkrak GMV atau menggaet pelanggan tidak masalah. “Tetapi yang lebih penting sekarang yakni melihat kualitas GMV dan pelanggan, apakah ini berkelanjutan. Pada akhirnya dapat diaplikasikan ke dalam model bisnis yang menguntungkan jangka panjang,” ujarnya.

Ia menilai, para unicorn dan decacorn perlu memfokuskan kembali bisnis inti mereka untuk memastikan berada di jalur yang tepat menuju profitabilitas. Rohit mencatat, beberapa di antaranya berfokus pada layanan pembayaran digital.

diskon (Katadata/desy setyowati)

Pada awal tahun, Managing Director Digitaraya Nicole Yapjuga mengatakan, investor global mulai berfokus pada startup yang tumbuh berkelanjutan dan mampu mencetak untung. Perubahan pola pikir dari berfokus pada valuasi menjadi profit ini terjadi setelah WeWork merugi cukup besar.

WeWork merupakan startup penyedia layanan ruang kerja bersama (coworking space) yang mendapat investasi dari SoftBank. Perusahaan asal Jepang itu merugi, lantaran valuasi WeWork disebut-sebut turun dari US$ 47 miliar menjadi US$ 10 miliar saat ini.

Startup asal Amerika Serikat itu agresif dalam ekspansi. Pada 2017, cakupannya hanya di 100 lokasi. Kini, WeWork telah melebarkan sayap ke 500 lokasi. Berdasarkan data analis di Bernstein, WeWork menghabiskan US$ 700 juta (Rp 9,8 triliun) per kuartal untuk promosi.

Nicole mengatakan, kasus WeWork membuat investor tak lagi tertarik dengan startup yang tidak memiliki strategi untuk meraup untung. “Saya pikir percakapan seputar profitabilitas dan seberapa penting itu untuk startup di early stage, itu akan berubah (tahun ini)," ujar dia kepada Katadata.co.id di Jakarta, Januari lalu (23/1).

Halaman:
Reporter: Fahmi Ahmad Burhan, Cindy Mutia Annur