Pendanaan ke para unicorn Asia Tenggara terus menurun sejak tahun lalu. Persaingan bisnis startup dengan valuasi jumbo pun berubah menjadi menahan ‘bakar uang’, mengejar untung, serta berpotensi merger dan akuisisi.

Berdasarkan laporan Google, Temasek, dan Bain and Company bertajuk ‘e-Conomy 2020’, setidaknya ada 12 unicorn dan decacorn di regional. Unicorn sebutan bagi startup dengan valuasi lebih dari US$ 1 miliar, sementara decacorn US$ 10 miliar.

Indonesia memiliki satu decacorn yakni Gojek. Selain itu, empat unicorn yaitu TokopediaTravelokaBukalapak, dan OVO.

Dana segar yang mengalir ke startup jumbo di regional US$ 8,7 miliar pada 2018. Nilainya turun menjadi US$ 5,6 miliar pada tahun lalu.

Pendanaan ke unicorn di Asia Tenggara (Google, Temaek, dan Bain and Company)

 Sedangkan sepanjang semester I tahun ini hanya US$ 3 miliar. Angka ini tidak termasuk dana segar yang diperoleh Traveloka pada Juli lalu, maupun Tokopedia dan Bukalapak baru-baru ini.

Partner and Leader, Bain and Company’s Southeast Asia Private Equity Practice Alessandro Cannarsi mengatakan, investor semakin khawatir dengan bisnis yang menghabiskan banyak uang. Walaupun mereka juga menyadari bahwa bisnis para unicorn di Asia Tenggara tumbuh sangat cepat.

“Sekarang para unicorn memahami bahwa mendapatkan pendanaan akan lebih menantang ke depan,” kata Alessandro saat pemaparan laporan e-Conomy 2020 secara online, Selasa (24/11). Oleh karena itu, ada lebih banyak startup jumbo yang mulai berfokus mengejar untung.

Gojek misalnya, mencatatkan nilai transaksi bruto (gross transaction value/GTV) tumbuh 10% menjadi US$ 12 miliar atau Rp 170 triliun sejak awal tahun. Jumlah pengguna aktif bulanan (monthly active user/MAU) juga meningkat 38 juta.

Layanan inti decacorn Tanah Air itu juga mencetak margin kontribusi (margin contribution) positif pada 2020. Perhitungan margin kontribusi yakni total pendapatan penjualan dikurangi biaya variabel.

Pada awal tahun, Presiden Tokopedia Patrick Cao menyampaikan bahwa perusahaan berencana mencatatkan saham perdana atau initial public offering (IPO) di dua bursa dalam tiga tahun ke depan. Salah satunya di Bursa Efek Indonesia (BEI), sementara yang lainnya di Amerika Serikat (AS).

Startup jumbo itu juga dikabarkan menargetkan bisa mencapai titik impas (break even point/BEP) pada 2021. Untuk mencapai target ini, Tokopedia mempersiapkan diri sejak tahun lalu.

Kemudian, Bukalapak berfokus menyasar kota-kota di level atau tier dua seperti Yogyakarta, Manado, Solo, Palembang, dan Pekanbaru, untuk mengejar profit. Unicorn ini juga mengembangkan beragam layanan, yang konsepnya mirip aplikasi super (superapp).

Pada akhir 2019, Presiden Direktur OVO Karaniya Dharmasaputra mengakui bahwa perusahaan merugi dalam dua tahun terakhir. Namun, ia optimistis dapat meraup untung dan tumbuh berkelanjutan.

Alessandro menyampaikan, tetap berada di jalur yang tepat menuju profit akan menjadi lebih penting dibandingkan sebelumnya. “Oleh karena itu, platform internet perlu berfokus pada bisnis inti dan membuktikan kepada investor bahwa mereka memiliki unit ekonomi yang menarik dan berkelanjutan,” kata dia.

Google, Temasek, dan Bain and Company pun menggambarkan perubahan fokus (refocusing) bisnis para startup di tengah pandemi corona. Ini terlihat pada bagan di bawah ini:

Refocusing bisnis startup di Asia Tenggara imbas pandemi corona (Google, Temaek, dan Bain and Company)

Meski begitu, ia menilai bahwa persaingan bisnis di antara para unicorn tidak akan menjadi lebih sedikit, karena masifnya merger dan akuisisi. “Pengetatan pendanaan hanya berarti, persaingan mungkin akan bergeser pada pengurangan subsidi atau ‘bakar uang’ dan berfokus pada kualitas layanan dan pengalaman pengguna,” ujar Alessandro.

Perubahan peta persaingan lainnya yakni para unicorn kemungkinan akan berfokus pada kemitraan untuk memperluas bisnisnya. Ini berbeda dibandingkan beberapa tahun lalu, ketika startup jumbo memperbesar usaha secara organik.

“Secara keseluruhan, saya tidak terlalu khawatir bahwa dampak pendanaan akan mengurangi persaingan, yang berdampak negatif pada pelanggan. Kalaupun ada (merger dan akuisisi), ekonomi internet di Asia Tenggara memiliki ekosistem digital yang sehat dan berkelanjutan,” kata dia.

Berdasarkan laporan e-Conomy 2020, nilai ekonomi berbasis internet di Asia Tenggara US$ 105 miliar atau sekitar Rp 1.475 triliun pada tahun ini. Sebanyak US$ 44 miliar atau Rp 619 triliun di antaranya disumbang oleh Indonesia.

Nilai ekonomi digital di Indonesia tumbuh 11% dibandingkan tahun lalu (year on year/yoy), sementara Vietnam 16%. Pertumbuhan di Malaysia, Filipina, dan Thailand sekitar 6-7%. Sedangkan Singapura turun 24% menjadi US$ 9 miliar tahun ini, terutama karena sektor pariwisata atau online travel.

Pada 2025, nilai ekonomi digital di regional diprediksi tumbuh 24% menjadi US$ 309 miliar. Sedangkan Indonesia diramal meningkat 23% menjadi US$ 124 miliar. Angka ini menurun dibandingkan proyeksi 2019 yang mencapai US$ 133 miliar.

Chief Investment Strategist Temasek Rohit Sipahimalani sepakat bahwa investor akan semakin selektif dalam menanamkan modalnya di startup ke depan, termasuk unicorn. “Tetapi secara keseluruhan, mereka masih ingin berinvestasi di Asia Tenggara,” katanya.

Ia mengatakan, pengetatan pendanaan kepada unicorn bukan berarti karena modal investor berkurang. “Salah satu alasan unicorn memperoleh lebih sedikit dana, sebagian karena beberapa dari mereka siap mengumpulkan uang dari sumber lain dari operasi bisnis,” ujar dia.

Ia mencontohkan induk Shopee, Sea Group. Selain e-commerce, perusahaan asal Singapura ini merambah bisnis gim online melalui Garena, sehingga menekan kerugian. Kini mereka memiliki sekitar US$ 3 miliar neraca keruangan.

Alasan kedua menurunnya pendanaan ke unicorn yakni para startup jumbo mulai berfokus pada pertumbuhan bisnis berkelanjutan dan profit. “Maka, dana untuk ‘bakar uang’ menurun,” kata dia.

Oleh karena itu, ia menilai bahwa perubahan peta persaingan bisnis para unicorn akan baik bagi ekosistem bisnis digital di Asia Tenggara, khususnya Indonesia. “Di luar merger dan akuisisi, pilihan yang nyata yakni mewujudkan ‘nilai’,” kata Rohit.

Namun, ia memperkirakan bahwa merger dan akuisisi mungkin saja terjadi dalam satu atau dua tahun ke depan.

Sebelumnya, Direktur Investasi BRI Ventures  William Gozali menjelaskan, konsolidasi biasanya berfokus pada efisiensi. “Saya lihat sektor e-commerce akan yang masif (merger dan akuisisi),” kata dia dalam acara media gathering virtual Asosiasi Modal Ventura untuk Startup lndonesia (Amvesindo) bertajuk ‘Mengupas Dinamika dan Tren Pendanaan Startup 2020-2021’, tiga pekan lalu (2/11).

Startup e-commerce di Indonesia seperti Tokopedia dan Bukalapak bersifat agregasi suplai. “Sekarang terlalu banyak. Nilainya bukan lagi di agregasi, tetapi kurasi. Jadi kalau dilihat merger dan akuisisi, tentu sektor yang efisien,” ujar dia.

Selain itu, ia melihat bahwa perusahaan rintisan social commerce akan semakin berkembang. Apalagi data GlobalWebIndex, penduduk Indonesia rerata mempunyai 10-11 akun media sosial pada kuartal I 2020, sebagaimana Databoks berikut:

William juga menilai, prospek turunan e-commerce lainnya yakni digitalisasi warung atau online to offline (O2O) akan semakin berkembang. “Efek pandemi virus coronastartup yang mendorong rantai pasok (suplai chain), prospeknya masih sangat bagus,” kata dia.

Berdasarkan riset perusahaan sekuritas CLSA, biaya akuisisi konsumen alias customer acquisition costs (CACs) melalui mitra warung US$ 2 per pelanggan atau hanya 10-20% dibandingkan cara umum. Selain itu, layanan O2O berkontribusi 10% terhadap total pengguna baru di e-commerce.

Sedangkan riset Euromonitor International 2018 menunjukkan, mayoritas masyarakat Indonesia, India, dan Filipina lebih suka berbelanja di toko kelontong, sebagaimana tecermin pada Databoks berikut:

Hal senada disampaikan oleh CEO Mandiri Capital Indonesia Eddi Danusaputro, yang memperkirakan bahwa merger dan akuisisi di sektor e-commerce akan mulai terjadi di tahun ini.

“Arah kedepan sepertinya menuju konsolidasi antarpemain,” katanya kepada Katadata.co.id, Oktober lalu (26/10). “Tahun ini sudah mulai, karena hanya yang modalnya besar yang bisa terus ‘bakar uang’.”

Hal itu karena konsumen di Indonesia sangat sensitif terhadap harga, sehingga e-commerce butuh dana besar untuk memberikan promosi. Selain itu, perlu memperkuat platform dari sisi suplai produk, tampilan hingga logistik.

Begitu juga dengan Managing Partner Kejora Ventures Eri Reksoprodjo. “Merger dan akuisisi, konsolidasi industri akan semakin marak,” kata dia kepada Katadata.co.id. Ini karena perusahaan akan mulai meningkatkan efisiensi rantai pasokan.

Reporter: Desy Setyowati