Ada ‘Zombi Unicorn’ di AS, Valuasi Startup Diramal Tak Lagi Mahal

ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/aww.
Warga mengamati aplikasi-aplikasi startup yang dapat diunduh melalui telepon pintar di Jakarta, Selasa (26/10/2021).
23/5/2022, 13.35 WIB

Selama ini, startup rugi tetap diminati investor. Kini, penanam modal dari kalangan modal ventura memperkirakan bahwa valuasi perusahaan rintisan akan menyesuaikan dengan kinerja atau tak lagi mahal.

CEO Mandiri Capital Indonesia Eddi Danusaputro juga mengatakan, tren pendanaan ke perusahaan rintisan berubah. "Startup yang diminati bukan lagi yang jor-joran ‘bakar uang’, tapi yang punya profitabilitas," ujarnya kepada Katadata.co.id, hari ini (23/5).

“Kami jauh lebih selektif,” tambah dia.

Selain itu, valuasi perusahaan rintisan akan lebih rasional. Kapitalisasi pasar Grab dan induk Shopee, Sea Group yang melorot misalnya.

Berdasarkan data YCharts, kapitalisasi pasar Sea Group US$ 44,59 miliar per akhir pekan lalu (20/5). Nilainya turun drastis dibandingkan Oktober 2021 sekitar US$ 200 miliar.

Begitu pun Grab yang kini US$ 12,3 miliar. Padahal, valuasi ekuitas berdasarkan pro-forma decacorn Singapura ini diperkirakan sekitar US$ 39,6 miliar atau Rp 578,4 triliun ketika merger dengan perusahaan akuisisi bertujuan khusus atau SPAC Altimeter Growth Corp.

"Ini karena selama ini valuasi startup terlalu tinggi. Maka akan ada koreksi dan itu bukan hal yang buruk. Industri akan jadi lebih sehat," katanya.

Hal senada disampaikan oleh Managing Partner East Ventures Roderick Purwana. “Akan ada perubahan ke pendanaan. Orang cari startup berkualitas dan ada perubahan valuasi,” kata dia, pekan lalu (17/5).

Situs penelitian saham, Seeking Alpha menilai bahwa valuasi Sea Group sebelumnya terlalu mahal jika dibandingkan dengan emiten sejenis MercadoLibre, e-commerce asal Argentina.

“Valuasi (saat) ini cukup adil mengingat keterpurukan Sea Group baru-baru ini. Namun masih terlalu murah dibandingkan dengan penilaian historis bisnis dan peningkatan kepemimpinan pasar di pasar-pasar utama,” demikian dikutip dari Seeking Alpha, akhir bulan lalu (21/4).

Pada Februari, Sea Group memang kehilangan kapitalisasi pasar harian lebih dari US$ 16 miliar atau Rp 228 triliun setelah India memblokir game besutannya Free Fire. Investor Sea Group khawatir pemblokiran bisa merembet ke aplikasi e-commerce, Shopee di India.

Free Fire merupakan aplikasi game populer global besutan anak perusahaan Sea, Garena. Gim bergenre battle royale ini mempunyai pangsa pasar yang besar di India.

Berdasarkan data dari App Annie, 40 juta dari 75 juta pengguna aktif bulanan Free Fire berasal dari India. Walaupun India kalah dibandingkan Indonesia dari sisi jumlah pemain gim (gamer), sebagaimana Databoks berikut:

Sebulan setelah pemblokiran tersebut, Sea Group menegaskan bahwa keputusan untuk menutup Shopee di India. Padahal e-commerce ini baru hadir di India pada September tahun lalu.

Meski begitu, induk Garena itu membantah bahwa keluarnya Shopee karena pemblokiran Free Fire. Hal ini lebih karena ketidakpastian pasar global. Shopee juga keluar dari pasar Prancis.

“Keluarnya Sea dari kedua pasar ini mungkin tampak menghancurkan ambisi pertumbuhan global jangka panjang,” demikian dikutip dari Seeking Alpha.

Namun, Seeking Alpha melihat bahwa India dan Prancis bukan pasar yang bakal memberikan keuntungan jelas dan jangka panjang bagi keuntungan Sea Group. Profitabilitas dinilai lebih mungkin didapat dari pasar inti di Asia Tenggara atau Amerika Latin.

“Sea masih hadir di beberapa pasar global lain, seperti Polandia dan Spanyol, yang menawarkan jalan untuk ekspansi. Pasar Asia Tenggara juga masih menawarkan potensi pertumbuhan jangka panjang yang signifikan,” demikian dikutip.

Selain Shopee, kapitalisasi pasar Grab anjlok. “Valuasi turun signifikan. Keberatan kami yakni bahwa perusahaan masih ‘bakar uang’ yang sangat tinggi,” demikian isi laporan Seeking Alpha.

Valuasinya mendekati US$ 10 miliar bulan lalu, sehingga mengancam status ‘decacorn’ Grab. Hal ini setelah perusahaan mencatatkan pendapatan anjlok 44% dari tahun ke tahun (year on year/yoy) menjadi US$ 122 juta atau sekitar Rp 1,8 triliun pada kuartal akhir tahun lalu. Alhasil, kerugiannya membengkak menjadi US$ 1,1 miliar atau setara Rp 15,8 triliun.

Grab merilis laporan kinerja pada kuartal I 2022 dan hasilnya membaik. Kerugian turun 35% yoy dari US$ 666 juta pada kuartal I 2021 menjadi US$ 435 juta (Rp 6,4 triliun).

Pendapatannya hanya naik 6% yoy dari US$ 216 juta menjadi US$ 228 juta (Rp 3,34 triliun). Namun, pendapatan perusahaan sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi atau EBITDA yang disesuaikan turun 158% yoy dari negatif US$ 111 juta menjadi minus US$ 287 juta.

“Ini karena biaya regional dan investasi insentif yang lebih tinggi” demikian dikutip dari siaran pers, akhir pekan lalu (19/5).

Insentif atau ‘bakar uang’ untuk mitra meningkat 55% yoy dari US$ 139 juta menjadi US$ 216 juta (Rp 3,2 triliun). Begitu juga untuk konsumen, melonjak 85% yoy dari US$ 186 juta menjadi US$ 344 juta (Rp 5 triliun).

Seiring dengan meningkatnya uang yang digelontorkan untuk insentif, nilai transaksi bruto (GMV) Grab pun meningkat 32% yoy dari US$ 3,64 miliar menjadi US$ 4,8 miliar (Rp 70,4 triliun).

Transaksi pengguna secara bulanan (MTU) juga naik 10% yoy mencapai 30,9 juta. Begitu pun pengeluaran rata-rata per pengguna, yang didefinisikan sebagai GMV per MTU, naik 19% menjadi US$ 155.

Namun, Grab optimistis layanan pengiriman, termasuk GrabFood dan GrabExpress mencapai titik impas atau tidak rugi pada akhir 2023. Decacorn ini pun berfokus untuk tumbuh berkelanjutan dan mengurangi insentif atau ‘bakar uang’.

Chief Financial Officer Grab Peter Oey menyampaikan, perusahaan bakal berfokus untuk tumbuh secara berkelanjutan dengan disiplin pada permodalan. Grab juga akan mengoptimalkan basis biaya tetap dan mengurangi pengeluaran insentif saat pasar mulai rasional dari sisi harga.

“Kami percaya tindakan ini akan menempatkan kami di jalur untuk mencapai titik impas EBITDA yang disesuaikan segmen untuk layanan pengiriman pada akhir 2023,” kata Peter dalam siaran pers, akhir pekan lalu (19/5).

Penurunan harga saham juga dirasakan oleh perusahaan teknologi di Silicon Valley, Amerika Serikat (AS). Silicon Valley merupakan pusat inovasi di Amerika yang mencetak banyak perusahaan teknologi raksasa seperti Apple, Facebook, Google, Netflix, Tesla, Twitter hingga Yahoo. Letaknya di selatan San Francisco, California, AS.

Wilayah itu menampung sekitar 2.000 perusahaan teknologi.

Korporasi teknologi di Silicon Valley mencatatkan masa terburuk tahun ini dan disebut ‘zombie unicorn. Frasa zombi unicorn merujuk pada perusahaan rintisan bernilai tinggi tetapi goyah dan membutuhkan investor baru untuk menyelamatkan bisnis mereka.

Reporter: Fahmi Ahmad Burhan