Startup IPO dan Merger Naik saat Ada Ancaman Resesi, Bagaimana di RI?

ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/aww.
Warga mengamati aplikasi-aplikasi startup yang dapat diunduh melalui telepon pintar di Jakarta, Selasa (26/10/2021).
Penulis: Desy Setyowati
13/7/2022, 13.44 WIB

Jumlah startup di dunia yang mencatatkan saham perdana alias initial public offering (IPO), merger maupun akuisisi pada semester I naik tipis 2,6% secara tahunan (year on year/yoy), berdasarkan data CB Insights. Bagaimana dengan di Indonesia?

IPO, merger, dan akuisisi merupakan bentuk exit strategy. Exit strategy adalah pendekatan yang direncanakan untuk mengakhiri investasi dengan cara yang akan memaksimalkan keuntungan dan/atau meminimalkan kerugian

Startup yang melakukan exit strategy secara global 3.144 pada kuartal I. Sedangkan pada kuartal II ada 2.648. Maka, totalnya 5.792.

Tahun lalu, jumlahnya 2.767 pada kuartal I dan 2.876 di kuartal II. Maka, totalnya 5.643.

Artinya, jumlah startup yang melakukan exit strategy naik 2,6% dibandingkan semester I tahun lalu.

Namun jika dilihat pada kuartal II saja, ada penurunan 16% secara kuartalan (qtoq). Transaksi merger dan akuisisi anjlok 16% menjadi 2.502. “Ini terendah dalam enam kuartal,” demikian dikutip dari laporan CB Insights yang dirilis Selasa (12/7).

Sedangkan jumlah startup yang IPO secara konvensional turun 15%. Volume perusahaan rintisan yang IPO melalui perusahaan akuisisi bertujuan khusus alias SPAC turun 26%.

SPAC disebut perusahaan cek kosong karena tidak memiliki operasi apa pun. Perusahaan jenis ini merupakan sarana investasi yang dibuat khusus untuk mengumpulkan dana para orang kaya.

Tren Startup IPO di Indonesia

Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Juni menyebutkan, ada 43 perusahaan yang berencana melakukan IPO. Perkiraan dana yang mereka himpun Rp 14,1 triliun.

"Ada 43 perusahaan yang berada dalam pipeline pencatatan saham BEI per awal Juni (6/6)," kata Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna dalam keterangan pers, dikutip bulan lalu (7/6).

Dua di antaranya bergerak di bidang teknologi. Nyoman tidak memerinci nama perusahaan yang akan IPO.

Sedangkan Bloomberg sebelumnya melaporkan bahwa Blibli berencana IPO setelah merger dengan Tiket.com. Sumber menyampaikan, keduanya mengkaji merger setelah pembicaraan dengan SPAC untuk IPO, gagal.

Sejak tahun lalu, Tiket.com dikabarkan mempertimbangkan untuk go public melalui merger dengan SPAC COVA Acquisition Corp.

Sedangkan Blibli dikabarkan sedang memfinalisasi rencana IPO dengan menunjuk PT BRI Danareksa Sekuritas dan PT BCA Sekuritas sebagai penjamin emisi. "Blibli akan segera roadshow dan mengamankan listing pada pertengahan hingga akhir Juli tahun ini," ungkap seorang sumber dikutip dari D-insight, bulan lalu (21/6).

(BACA JUGA: Startup Cina Dipaksa Masuk 'Daftar IPO Berdarah' saat Marak PHK di RI)

Menurut data Dailysocial, Tiket.com dan Blibli disebut-sebut sudah berstatus unicorn atau startup dengan valuasi di atas US$ 1 miliar. Keduanya juga didukung oleh Grup Djarum.

Kredivo juga menunda IPO. Fintech lending merupakan salah satu startup portofolio Jungle Ventures.

Founding Partner Jungle Ventures Amit Anand menyampaikan, perusahaan memang menyarankan perusahaan rintisan portofolio untuk tidak terburu-buru kembali ke pasar, mengingat volatilitas baru-baru ini dan kendala sisi penawaran.

"Kami melihat sedikit koreksi besar,” kata Anand dikutip dari CNBC Internasional, pada Mei (19/5). “Jika mereka bisa, mereka harus memperhatikan ini sedikit lebih lama sebelum kembali ke pasar sehingga memiliki sedikit lebih banyak prediktabilitas.”

Namun, Bendahara Asosiasi Modal Ventura Seluruh Indonesia (Amvesindo) Edward Ismawan Chamdani menilai bahwa pendanaan seret dan makro ekonomi yang terguncang memengaruhi rencana IPO startup.

Akan tetapi, menurutnya tidak masalah jika perusahaan rintisan melantai di bursa saham di tengah kondisi sekarang ini. Ia menilai, pelaksanaan IPO tergantung tujuannya.

"Apabila intensinya agar para investor mendapatkan likuiditas, tentu hal ini (IPO) kurang ideal dilakukan, khususnya dalam kondisi makro seperti sekarang," kata Edward kepada Katadata.co.id, Jumat (1/7).

Jika tujuannya benar-benar untuk kemajuan startup, maka IPO tetap menjadi pilihan tepat. Sebab, langkah ini dapat meningkatkan kredibilitas, akses ke modal lebih mudah, perlakuan istimewa dari perbankan hingga kemudahan terkait transparansi.

Tren Startup Merger dan Akuisisi di Indonesia

Merger juga banyak dilakukan oleh startup di sektor teknologi finansial (fintech). "Tren belakangan banyak dilakukan pemain fintech, merger dengan bank digital atau akuisisi. Ini memberikan dampak positif bagi kedua belah pihak," kata Edward.

Managing Partner East Ventures Roderick Purwana juga mengatakan, merger dan akuisisi menjadi pilihan tepat. "Waktu-waktu bagus untuk akuisisi," katanya pada Mei (17/5).

Sebab, melalui merger dan akuisisi, startup bisa tetap tumbuh lebih cepat dan mencapai target. Perusahaan rintisan kecil yang diakuisisi pun akan mendapatkan untung dari sisi likuiditas. Hal itu berbeda dengan IPO.

"Kalau IPO akan butuh usaha dan sulit. ekspektasi dan daya tarik investor saat ini berubah," katanya.

Reporter: Desy Setyowati, Fahmi Ahmad Burhan, Cahya Puteri Abdi Rabbi