Inggris Atur Netflix dan Disney+ Seperti Stasiun TV, Bagaimana RI?

Netflix dan Disney+
Logo Netflix dan Disney+
Penulis: Desy Setyowati
25/6/2021, 18.01 WIB

Inggris mengkaji aturan tambahan untuk platform streaming film seperti Netflix dan Disney+. Rencananya, perusahaan bidang video on demand (VoD) akan diatur seperti stasiun televisi konvensional.

“Teknologi mengubah penyiaran, tetapi aturan yang melindungi pemirsa dan membantu saluran konvensional untuk bersaing berasal dari ‘zaman analog’,” kata Menteri Digital, Kebudayaan, Media dan Olahraga Inggris Oliver Dowden dikutip dari Inews.co.uk, Kamis (24/6).

Oleh karena itu, ia menilai platform streaming film perlu diatur lagi. “Waktunya melihat bagaimana kami dapat mengeluarkan potensi penyiaran publik sambil memastikan pemirsa mengonsumsi konten dalam format baru dan dilayani oleh sistem yang adil,” ujarnya.

Kajian itu dilakukan setelah Inggris meminta Netflix melabeli serial ‘The Crown’ sebagai cerita fiksi pada November 2020. Kerajaan khawatir, para penonton menganggap cerita yang diangkat sebagai fakta.

Sedangkan Netflix berada di luar jangkauan regulator media atau The Official of Communication (Ofcom) Inggris karena berbasis di Belanda. Di satu sisi, perusahaan ini mempunyai lebih dari 10 juta pelanggan di Britania Raya.

Oleh karena itu, kerajaan ingin mengatur Netflix hingga Disney+. Selain untuk mengatasi keluhan yang mungkin timbul dari pengguna, regulasi ini bertujuan menciptakan persaingan adil dengan siaran televisi konvensional.

“Lanskap saat ini membuat kesenjangan regulasi yang tidak konsisten, ad-hoc, dan berpotensi berbahaya antara layanan VoD. Ini di samping potensi kerugian kompetitif antara penyiar di Inggris dan rekan online mereka yang didanai secara internasional,” kata Oliver.

Di Indonesia, RCTI dan iNews sempat meminta perusahaan seperti Netflix hingga Disney+ tunduk pada Undang-undang atau UU Penyiaran. Keduanya khawatir ada konten pada layanan digital yang bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila.

Anggota Komisi I DPR dari fraksi Golkar Bobby Adhityo Rizaldi menilai, UU Penyiaran memang perlu mengatur penggunaan frekuensi untuk perusahaan digital seperti YouTube dan Netflix. Namun definisinya harus dibedakan dengan korporasi konvensional.

“Prinsipnya, apapun bentuk media atau platform harus diawasi selama kontennya penyiaran,” kata Bobby kepada Katadata.co.id, akhir tahun lalu (14/9/2020).

Oleh karena itu, lembaga mana yang mengawasi perlu diatur dalam UU Penyiaran. "Kelembagaan, aspek hukum komersial, dan wewenang kelembagaan yang berkaitan diatur di revisi itu," kata Bobby.

Sedangkan Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika (PPI) Kementerian Kominfo Ahmad M Ramli sempat menyampaikan, perubahan definisi lembaga penyiaran akan berdampak kepada penggunaan media sosial. Sebab, Instagram, Facebook dan lainnya juga memiliki fitur siaran langsung (live streaming).

Itu artinya, mereka wajib mengajukan izin sebagai lembaga penyiaran. “Kami harus menutup (platform) mereka kalau tidak mengajukan izin," ujar Ramli saat mengikuti sidang lanjutan di Gedung MK, dikutip dari Antara, tahun lalu (26/8/2020).

Namun Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan RCTI dan iNews TV itu pada Januari 2021. Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan, aturan terkait siaran terbarukan sudah diatur dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE.