Riset KIC-Amartha: UMKM RI Kurang Maksimalkan Aplikasi untuk Raup Cuan

ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/aww.
Pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) menawarkan produknya kepada pengunjung pada Bazar Ramadhan produk UMKM di Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (12/4/2022).
Penulis: Desy Setyowati
13/4/2022, 18.19 WIB

Riset Katadata Insight Center (KIC) dan Amartha mencatat, adopsi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Indonesia terkait layanan keuangan dan digital cukup tinggi. Namun, mereka kurang memanfaatkan aplikasi fintech hingga media sosial untuk meraup keuntungan.

Hal itu berdasarkan riset terhadap 402 responden yang memiliki usaha mikro dan ultra-mikro. Mereka tinggal di Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Sulawesi Selatan.

Survei dilakukan pada 1 – 8 November 2021. Tingkat kesalahan atau margin of error +/- 4,9%, dengan interval kepercayaan 95%.

Berdasarkan laporan bertajuk ‘Indonesia Grassroot Enterpreneur Report’ itu, Amartha Prosperity Index tercatat 59,64. “Ini level sedang,” kata Research Manager KIC Vivi Zabkie saat Editor Gathering & Iftar Dinner: FGD Research Amartha di Veranda Hotel, Jakarta, Rabu (13/4).

Amartha Prosperity Index mencakup indeks inklusi finansial, tingkat kedalaman pelaku usaha menggunakan produk keuangan dan digital, serta adopsi digital.

Indeks inklusi finansial 84,83. Mayoritas UMKM mikro dan ultra mikro menggunakan layanan perbankan.

Sedangkan jumlah UMKM di Indonesia dapat dilihat pada Databoks di bawah ini:

Namun indeks tingkat penggunaan layanan keuangan secara ahli hanya 22,55. Begitu juga dengan indeks akses dan benefit ke layanan pinjaman 35,19.

Kemudian, indeks adopsi perangkat dan infrastruktur digital 82,8. Indeks akses internet 56,43 dan indeks penggunaan media digital 80,57. Namun, indeks digital commerce hanya 20,5.

“Ini berarti penggunaan layanan keuangan dan digital hanya untuk individu,” ujar dia. Penggunaan yang dimaksud seperti bermain media sosial atau membeli produk menggunakan layanan fintech.

Padahal, pelaku usaha diharapkan memanfaatkan layanan keuangan dan digital untuk mengembangkan bisnis. “UMKM di perkotaan sebenarnya sudah pakai barcode, kode Quick Response (QR Code), dan lainnya. Tetapi, mikro dan ultra mikro belum,” ujar dia.

Rata-rata jumlah produk atau layanan keuangan yang digunakan oleh pelaku usaha hanya dua.

Lebih separuh dari pelaku usaha mikro dan ultra mikro belum menggunakan satupun jenis layanan keuangan. Hal ini karena merasa belum membutuhkan.

Ada 33% yang tidak mempunyai akun perbankan dan layanan keuangan lain, karena sudah ada anggota keluarga yang memiliki. Mereka menggunakannya bersamaan.

Selain itu, 27% tidak paham menggunakan layanan keuangan.

Chief Risk & Sustainbility Officer Amartha Aria Widyanto menyampaikan, atas dasar hal itu, perusahaan menyediakan pendamping bagi para peminjam yang merupakan ibu rumah tangga. Mereka memberikan pendampingan selama 50 minggu.

“Ini proses yang dibutuhan Amartha untuk mengedukasi dan menciptakan kebiasaan agar ibu rumah tangga ini mulai terbiasa mencatat keuangan,” ujar Aria.

“Bagaimana menentukan profit margin yang sesuai harapan? Lalu, kami mengajarkan mereka untuk menyisihkan uang guna meningkatkan kesejahteraan,” tambah dia.

Amartha juga meluncurkan aplikasi guna memudahkan para peminjam meningkatkan usaha. Salah satunya, menyediakan fitur yang memungkinkan mereka menjual pulsa.