Terobosan Aksi Iklim Indonesia di COP26 Dinilai Kurang Ambisius

Lukas-Biro Pers Sekretariat Presiden
Presiden RI, Joko Widodo dalam pembukaan Action on Forest and Land Use Event, 26th Conference of the Parties (COP26) di Glasgow, Inggris, 2 November 2021.
4/11/2021, 11.06 WIB

Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai target iklim yang disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada KTT Iklim PBB COP26 di Glasgow, Skotlandia, kurang ambisius. Padahal, ini kesempatan bagi Indonesia untuk memimpin aksi iklim negara G20 yang selaras dengan Perjanjian Paris.

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa menilai pada pidatonya di COP 26, Presiden Jokowi seolah menyerahkan tanggung jawab pada negara maju, terutama untuk menentukan tercapainya kondisi netral karbon di Indonesia lebih cepat.

Hal ini secara langsung menunjukkan sikap yang kurang ambisius dari pemerintah Indonesia dalam menangani persoalan krisis iklim. Pemerintah menurut dia seharusnya menyampaikan ambisi iklimnya secara lugas.

"Sayangnya Presiden tidak secara jelas menyatakan target dan rencana aksi mitigasi yang lebih ambisius dalam pidatonya,” kata Fabby dalam keterangan tertulis, Kamis (4/11).

Kemudian peningkatan target Nationally Determined Contribution (NDC) dan penyampaian kebutuhan pendanaan dari negara-negara maju untuk mencapai emisi puncak sebelum 2030 serta dekarbonisasi pada 2060 atau lebih awal.

Berdasarkan laporan Climate Transparency Report, profil Indonesia 2021 dengan tidak memutakhirkan target NDC pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) lebih besar dari 29% tanpa syarat, justru akan berkontribusi pada peningkatan emisi hingga 535% di atas level 1990, atau sekitar 1.817 metrik ton emisi setara CO2 (CO2e) pada 2030.

Sementara, agar tetap di bawah batas suhu 1,5 derajat Celsius, emisi Indonesia pada 2030 harus sekitar 461 metrik ton CO2e (atau 61% di atas level tahun 1990). Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan ambisi sebesar 1.168 metrik ton CO2e.

Manager Program Ekonomi Hijau IESR, Lisa Wijayani menilai sebagai negara yang memiliki sumber daya alam dan mineral yang cukup besar, salah satunya nikel, Indonesia sebenarnya mampu untuk menaikkan ambisi iklimnya melebihi target 29% pada 2030.

"Selain itu, jika Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar telah menerapkan konservasi dan efisiensi energi sejak dini maka tanpa kebutuhan pendanaan yang bergantung dengan negara maju, Indonesia akan mampu mengurangi emisi karbon lebih besar dari target yang ada di NDC,” kata Lisa.

IESR juga menyoroti bahwa rencana Indonesia untuk bertransisi energi menuju energi bersih masih terkendala pada regulasi yang tak kunjung terbit. Jokowi mengemukakan akan membangun PLTS terbesar di Asia Tenggara, namun hingga kini Permen ESDM No. 26 Tahun 2021 Tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap masih tertahan di Kementerian Keuangan.

Selain itu, Peraturan Presiden (Perpres) tentang energi baru terbarukan (EBT) yang dinantikan sejak awal 2021, belum juga rampung. “Regulasi dan target yang jelas dapat membuka peluang yang lebih besar untuk para investor menanamkan modalnya di energi terbarukan,” kata Lisa.

Tidak hanya itu, dalam pidatonya Jokowi juga menekankan pentingnya peranan pasar dan harga karbon dalam menuntaskan persoalan iklim. Oktober ini, pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Pajak karbon bertarif Rp 30 per kilogram CO2e akan diterapkan pada jumlah emisi yang melebihi batas emisi (cap and tax) yang ditetapkan.

Adapun penetapan harga pajak karbon di angka Rp 30 per kg masih sangat jauh dari rekomendasi Bank Dunia dan IMF yang menetapkan harga pajak karbon negara berkembang seharusnya berada di kisaran US$ 35-100 per ton CO2e atau Rp 500-1.400 per kg.

"Bahkan laporan IPCC memaparkan bahwa tarif pajak karbon pada 2020 berada di kisaran US$ 40-80 per ton CO2e (Rp 572-1.145 per kg). Dengan kecilnya tarif pajak karbon maka tujuan pemerintah untuk mengurangi emisi karbon secara signifikan melalui pajak karbon ini tidak akan tercapai,” ujar Lisa.

Reporter: Verda Nano Setiawan