Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyampaikan, penerapan pajak karbon antar negara atau cross border harus segera diterapkan. Hal tersebut menyusul berlakunya kebijakan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) oleh Uni Eropa di tahun 2026.
"Kami ingin mengingatkan kembali bahwa untuk mekanisme cross border carbon ini akan efektif mulai 2026. Jadi ini bisa diantisipasi," ujar Menteri ESDM Arifin Tasrif dalam acara Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi VII DPR, Senin (20/11).
Arifin mengatakan, penerapan pajak karbon bertujuan untuk menyesuaikan kecepatan negara-negara luar dalam melakukan transisi energi. Melalui penerapan cross border carbon mechanism tersebut, nantinya juga akan ada pengenaan pajak karbon, tidak terkecuali bagi produk yang berasal dari dalam negeri.
"Jadi jangan sampai produk-produk industri kita ini terbebani oleh pajak karbon, sehingga kita tidak kompetitif dan menjadi mahal. Maka ini akan memberikan tekanan terhadap industri di dalam negeri," kata dia.
Dia mengatakan tujuan lainnya dari penerapan Cross Border Carbon Mechanism juga untuk mendorong sekaligus mengoptimalkan potensi serta kemampuan dalam negeri.
Ditemui usai rapat, Arifin mengatakan bahwa pajak karbon yang rencananya akan ditetapkan pada 2026 tersebut bisa memberikan potensi atau dampak positif kepada Indonesia, "Negara kita (Indonesia) bisa dikenakan pajak karbon, dan kita juga bisa memberikan pajak karbon untuk negara luar,” ujar Arifin.
Sebelumnya, pemerintah berencana untuk menerapkan pajak karbon sejak 1 April 2022 sesuai Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Namun, rencana ini terus mundur dan belum terlaksana.
Kepala Pusat Kebijakan Sektor Keuangan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Adi Budiarso, mengatakan aturan penerapan pajak karbon saat ini sedang digodok oleh pemerintah. Merujuk pada Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), nantinya akan ada tiga peraturan untuk mengatur penerapan pajak karbon.
“Di dalam UU HPP itu rencana penerapan pajak karbon pada 2024. Kami sedang melihat perkembangan kesiapan dari industri yang berkomitmen untuk NDC (Nationally Determined Contribution), lalu untuk mekanisme perdagangan carbon cap and trade, dan dari sisi ekonomi,” ujar Adi saat ditemui di sela acara Indonesia Knowledge Forum (IKF), Jakarta, (10/10).
Di sisi lain, Adi mengatakan, pajak karbon bertujuan untuk mendorong perubahan kebiasaan masyarakat agar bisa transisi ke energi bersih. Dengan begitu, Indonesia diharapkan bisa meraih komitmen NDC dan mencapai target Net Zero Emission (NZE) pada 2060.
Sementara itu, Kepala Badan Standarisasi dan Kebijakan Jasa Industri Kementerian Perindustrian Doddy Rahadi mengatakan pemerintah berencana menaikkan harga pajak karbon dari yang sebelumnya hanya Rp 30.000 menjadi Rp 70.000 per kilogram. Namun, rencana tersebut masih dalam tahap pembahasan.
“Tapi, bagi perusahaan yang bisa mengurangi emisi karbon tidak dikenakan pajak. Pajak itu untuk perusahaan yang melebihi batas emisi karbon,” kata dia.