Mobil Listrik Mahal, Bioetanol Jadi Alternatif Tekan Emisi Karbon

ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/hp.
Sektor transportasi merupakan salah satu penyumbang emisi karbon terbesar.
25/8/2021, 14.39 WIB

Pemanfaatan bioetanol dalam bauran energi bersih menjadi salah satu alternatif untuk pengurangan emisi karbon dari sektor transportasi, di tengah masih tingginya harga kendaraan atau mobil listrik.

Engineering Manager, TFA Project Group, Australia, Keith Sharp menyadari tren sektor transportasi saat ini mulai mengarah pada penggunaan ke kendaraan listrik yang memproduksi zero gas emisi karbon.

Namun ia menilai tren tersebut sulit terealisasi setidaknya hingga 10 tahun, bahkan 20 tahun ke depan, karena kendala pada keekonomian kendaraan listrik. Di samping itu, suplai listriknya pun masih didominasi dari energi fosil seperti batu bara dan gas alam. Sehingga tak ideal dari perspektif perubahan iklim.

"Sebelum menuju ke tren EV (kendaraan listrik) dalam 10 hingga 20 tahun ke depan bioetanol dapat menjadi alternatif dekarbonisasi di sektor transportasi," ujarnya dalam Webinar secara virtual “Etanol: Dekarbonisasi Bahan Bakar Kendaraan dalam Bioekonomi”, Rabu (25/8).

Sektor transportasi merupakan salah satu penyumbang emisi karbon terbesar. Simak databoks berikut:

Beberapa negara seperti Amerika Serikat (AS) dan Australia merupakan negara yang sukses dalam menerapkan etanol sebagai campuran bahan bakar kendaraan.

Sharp menuturkan, di Australia implementasi program bioetanol pada 6 pabrik bioetanol berkapasitas masing-masing 100 juta liter, memiliki dampak yang sangat positif. Misalnya gas emisi berkurang hingga 2,6 juta ton per tahun dan membuka hingga 4.000 lapangan pekerjaan.

Kemudian meningkatkan modal investasi daerah hingga US$ 720 juta (sekitar Rp 10,4 triliun) dan pendapatan tahunan sebesar US$ 500 juta (Rp 7,2 triliun), serta meningkatkan kapasitas produksi baru etanol negeri Kanguru yang diproyeksikan sekitar 550 juta liter per tahunnya.

Sedangkan di AS, berdasarkan studi oleh Environmental Health & Engineering, Inc pada 2020, program E10 (etanol 10%) dalam campuran bensin dapat meningkatkan nilai oktan hingga 3-4 tingkatan. Program E10 juga menurunkan 46% gas emisi karbon dibandingkan dengan bensin murni, dari hulu ke hilir.

Di samping itu, pengurangan emisi juga dapat mengurangi polusi di udara, hal ini terlihat di Los Angeles. Studi itu juga menyebutkan penggunaan dan produksi etanol secara global dapat mengurangi emisi karbon hingga 110 juta ton per tahun, atau setara dengan mengurangi 20 juta unit kendaraan bermotor di jalan.

Sementara, peneliti senior dari ITB sekaligus Ketua Pusat ITB Sustainable Development Goals (ITB SDGs Network) DR. Tirto Prakoso, berpendapat bahwa keberhasilan beberapa negara, seperti Australia, Amerika Serikat, Thailand dan Filipina dalam penerapan bioetanol harus menjadi pembelajaran untuk Indonesia.

"Bioetanol bisa membantu agenda pemerintah dalam mengurangi emisi karbon di sektor transportasi. Belum lagi Indonesia sebagai negara agraris memiliki potensi bahan baku etanol cukup besar. Indonesia tidak boleh kalah dari Thailand dan Filipina dalam memperkenalkan bioetanol di pasar domestik," katanya.

Menurut dia ada manfaat jangka panjang dari bioetanol yang dapat menciptakan lapangan pekerjaan di sektor pertanian, dan juga merangsang pertumbuhan industri pengolahan etanol domestik. Sehingga ke depannya Indonesia tidak tergantung oleh impor bahan bakar jadi dan impor minyak mentah.

Adapun bahan pembuat bioetanol ini sendiri dapat berasal dari produk-produk pertanian di antara lain adalah tetes tebu, singkong, jagung. Indonesia sebagai negara dengan modal sektor pertanian yang berlimpah menjadi salah satu negara yang potensial untuk mengimplementasikan program bioetanol di sektor energi.

Namun, jika menilik ke belakang, Indonesia sebenarnya pernah mengimplementasikan penggunaan bioetanol di dalam negeri. Namun program itu terhenti pada 2014, dan tidak ada kelanjutannya hingga sekarang.

Reporter: Verda Nano Setiawan