Kementerian ESDM mencatat sebanyak 43 proyek pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT) hingga saat ini masih belum mencapai jadwal Commercial Operation Date (COD). Total kapasitas 43 pembangkit ini mencapai 1.804,21 megawatt (MW) atau 1,8 gigawatt (GW).
Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Chrisnawan Anditya mengatakan dari proyek yang terkendala, porsi terbesarnya berasal dari pembangkit berbasis hidro/air. Antara lain PLTA Pump Storage Matenggeng 943 MW, PLTA Batang Toru 510 MW dan PLTA Jatigede 110 MW.
"Berdasarkan monitoring yang kami lakukan terhadap proyek dengan status bottleneck, saat ini masih terdapat 43 proyek pembangkit aneka EBT dengan kapasitas 1.804,21 MW yang belum mencapai COD," kata dia kepada Katadata.co.id, Selasa (2/11).
Secara umum, penyebab belum tercapainya COD proyek pembangkit tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, seperti perizinan, pembebasan lahan, sumber pendanaan, dan aspek teknis pelaksanaan konstruksi baik yang bersumber dari kondisi alam maupun sebagai dampak pandemi Covid-19.
Di tengah situasi pandemi yang masih berlangsung, menurut dia Kementerian ESDM akan tetap melaksanakan fasilitasi dan koordinasi dengan stakeholder terkait. Mulai dari Pemerintah Pusat (Kementerian/Lembaga), Pemerintah Daerah maupun Lembaga Pendanaan.
Hal ini dilakukan agar beberapa penyebab belum tercapainya COD proyek tersebut dapat diselesaikan. Meski begitu, Chrisnawan belum menghitung tambahan porsi bauran EBT jika ke 43 proyek itu dapat berjalan.
"Belum kami hitung, karena COD masing-masing pembangkit berbeda. Namun pastinya akan mampu meningkatkan kapasitas pembangkit EBT dan bauran EBT," katanya.
Kementerian ESDM memiliki target untuk menambah kapasitas terpasang pembangkit listrik EBT sebesar 38 GW hingga 2035. Guna merealisasikan target tersebut, pengembangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) akan menjadi andalan.
Menteri ESDM Arifin Tasrif sebelumnnya mengatakan bahwa pemilihan PLTS sebagai prioritas utama dalam pengembangan pembangkit EBT secara masif karena harga listrik dari PLTS yang semakin murah dan bersaing dengan pembangkit lainnya.
"Untuk mencapai target tersebut pemerintah memprioritaskan pengembangan pembangkit surya karena biayanya makin kompetitif dan lebih murah dan waktu pelaksanaannya lebih cepat, kita memiliki sumber yang banyak," ujarnya beberapa waktu lalu.
Pemerintah memiliki tiga program prioritas yang sedang berjalan untuk mendorong pengembangan PLTS, yakni pengembangan PLTS atap dengan kapasitas total 3,6 GW, pengembangan PLTS skala besar berkapasitas 5,34 GW, dan yang terbesar, proyek PLTS terapung di 375 lokasi dengan total kapasitas 28,20 GW.
"Terus terang kita tertinggal dengan Vietnam. Karena Vietnam sudah memanfaatkan PLTS atap sampai 17 GW kita masih ratusan MW," ujarnya. Simak besaran potensi energi baru terbarukan Indonesia pada databoks berikut:
Meski demikian, untuk menumbuhkan optimisme ke depan, ada beberapa proyek PLTS atap yang sukses diimplementasikan di Indonesia. Salah satunya yakni Coca Cola Amatil Indonesia yang telah membangun panel surya di area pabriknya dengan kapasitas 7,2 megawatt (MW), atau yang terbesar di ASEAN.
Kemudian, Danone yang juga baru saja menyelesaikan pembangunan PLTS atap berkapasitas 3 MW di Pabrik Danone-Aqua, Klaten, Jawa Tengah. "Tentu ini harus bisa diikuti oleh industri lainnya. Agar industri bisa terdukung energi bersih dan bisa menghasilkan produk hijau," ujarnya.