Kementerian ESDM telah mensosialisasikan penerapan perdagangan karbon dan pajak karbon di bidang ketenagalistrikan. Namun masih ada salah satu kategori pembangkit PLTU batu bara berkapasitas di bawah 100 megawatt (MW) yang belum masuk mekanisme perdagangan maupun pajak karbon.
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menyebut pada dasarnya pemerintah harus menentukan fasilitas yang masuk atau tidaknya dalam pasar karbon. Pemerintah juga perlu menetapkan jumlah produksi karbon minimum untuk masuk dalam pasar karbon guna menjaga efektivitas.
"Kalau PLTU di bawah 100 MW tidak masuk dalam perdagangan karbon, artinya mereka harus dikenakan pajak secara langsung," ujar Fabby kepada Katadata.co.id, Jumat (3/12).
Fabby pun menyarankan supaya aturan terkait implementasi pasar karbon juga dipersiapkan lebih dulu. Pasalnya, kewajiban untuk fasilitas-fasilitas yang menghasilkan emisi di atas ambang batas minimal belum masuk skema ini.
"Yang belum ada saat ini adalah kewajiban untuk fasilitas-fasilitas yang menghasilkan emisi di atas ambang batas minimal harus ikut dalam skema ini masih belum ada," kata dia.
Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma menilai setelah Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang penyelenggaraan nilai ekonomi karbon (NEK) terbit. Maka pemerintah perlu segera menerbitkan aturan turunan yang terkait implementasinya.
Menurutnya dengan pola penetapan NEK berdasarkan cap, trade and tax, maka perlu diatur batasan cap secara pasti. Ini ditujukkan agar tidak ada perubahan setiap saat. "Sehingga akan berdampak pada target penurunan emisi dan juga realisasi target bauran energi nasional," ujarnya.
Seperti diketahui, pemerintah akan memungut pajak karbon dari pengoperasian PLTU mulai 1 April 2022. Namun, ketentuan itu belum berlaku bagi industri yang mempunyai izin penyediaan listrik mandiri.
Direktur Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Wanhar, menjelaskan pemerintah belum mengatur skema perdagangan karbon bagi PLTU yang dioperasikan industri. Sehingga PLTU dengan kapasitas di bawah 100 MW, termasuk untuk pemakaian sendiri, untuk sementara waktu belum akan dikenakan pajak karbon.
"Di masa mendatang perdagangan karbon ini kan instrumen saja. Tujuannya mengurangi emisi gas rumah kaca," kata Wanhar dalam Indonesia Carbon Forum, Rabu (1/12).
Meski begitu, pemerintah tak menutup kemungkinan akan menyasar kelompok ini guna mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC). "Ke depan akan kena pajak (karbon), untuk instrumen lingkungan hidup kita," ujarnya.
Pajak karbon akan berlaku secara bertahap mulai April tahun depan sebagaimana tertuang dalam Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Pajak ini akan mulai diberlakukan secara terbatas pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yasonna Laoly mengatakan penerapan pajak karbon diselaraskan dengan carbon trading. Ini merupakan bagian dari roadmap green economy. "Ini untuk meminimalisir dampaknya terhadap dunia usaha tetapi tetap mampu berperan dalam penurunan emisi karbon," ujarnya beberapa waktu lalu.