Regulasi Hingga Pembiayaan, PR Besar Pemerintah Dorong Transisi Energi

ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
Penulis: Happy Fajrian
28/12/2021, 19.34 WIB

Komitmen pemerintah Indonesia dalam mendorong transisi energi dan mengatasi dampak perubahan iklim dinilai sudah cukup positif. Namun, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan untuk mencapai tujuan tersebut.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan bahwa Indonesia membutuhkan tambahan kapasitas pembangkit energi baru terbarukan (EBT) sebesar 14.000 megawatt (MW) untuk mencapai target bauran sebesar 23% pada 2025.

“Dalam empat tahun ke depan kita harus bisa mengejar itu. Kapasitas yang harus dibangun 3.000-an MW setiap tahun. Ini tantangan,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Selasa (28/12).

Fabby menyebut regulasi sebagai salah satu faktor penghambat pengembangan energi terbarukan. Menurutnya regulasi yang menghambat harus diganti untuk meningkatkan daya tarik investasi. Sebab pengembangan pembangkit EBT tidak harus melalui pemberian insentif, tetapi kepastian regulasi.

Oleh karena itu pemerintah diminta melengkapi dan memperbaiki kerangka regulasi yang memungkinkan pengembangan energi terbarukan bisa lebih cepat. Apalagi hingga saat ini RUU EBT dan Perpres EBT tak kunjung rampung.

Selain itu Lelang energi terbarukan melalui pengaturan frekuensi dan volume harus jelas setiap tahunnya, sehingga investor bisa mengalokasikan rencana investasi dalam jangka panjang di Indonesia.

Manajer Program Prakarsa Herni Ramdlaningrum mengatakan transisi energi di Indonesia sudah ada kemajuan, semisal rencana penghentian pembangkit batu bara dan arah kebijakan keuangan hijau. Namun, Indonesia masih jauh dari target bauran energi bersih 23% pada 2025.

Ia menilai pemerintah seharusnya lebih melibatkan organisasi masyarakat dalam proses transisi energi agar pembuatan kebijakan dapat lebih inklusif dan partisipatif. Koherensi kebijakan lintas sektoral sangat penting agar transisi energi dapat terkoordinasi antara PLN, Kementerian ESDM, dan Kementerian PPN/Bappenas.

Pemerintah juga perlu menciptakan ekosistem yang memadai sebelum mengeluarkan kebijakan terkait pajak karbon dan perdagangan karbon. Apalagi dengan harga Rp 30 per kilogram CO2 dinilai masih terlalu rendah.

Sedangkan dari sisi pembiayaan transisi energi, peneliti Prakarsa Fiona Armintasari mengatakan perlu melibatkan berbagai pihak mulai dari pemerintah, lembaga keuangan internasional, dan institusi perbankan.

Saat ini, lembaga keuangan internasional mendominasi pembiayaan transisi energi. Padahal peran bank terutama swasta, sangat penting dalam mendorong transisi energi, apalagi di Indonesia sekitar 80% aset keuangan dipegang bank swasta.

"Ekosistem keuangan berkelanjutan perlu terus didorong untuk mempercepat transisi energi salah satunya green taxonomy yang saat ini tengah disusun OJK. Sudah ada definisi yang jelas tentang apa saja aktivitas bisnis yang bisa dikategorikan hijau. OJK harus memastikan tidak ada peluang greenwashing dengan dibentuknya green taxonomy,” ujarnya.

Direktur Climate Policy Initiative (CPI) Indonesia Tiza Mafira mengatakan pemerintah perlu memberikan kemudahan kepada masyarakat untuk melakukan transisi energi mikro di rumah tangga, seperti tariff net metering untuk panel surya yang menghasilkan penghematan tagihan listrik, infrastruktur yang mendukung peralihan ke transportasi umum listrik dan kendaraan pribadi listrik, serta insentif untuk memilih produk yang efisien energi.

Untuk mempercepat transisi energi dan penanganan perubahan iklim, pemerintah harus lebih berani menghilangkan subsidi energi fosil yang menghambat daya saing energi baru dan terbarukan dan menciptakan mekanisme pembatasan karbon secara tegas.

Sementara itu, Direktur Program Koaksi Indonesia Verena Puspawardani mengatakan masyarakat dunia memantau proses transisi energi di Indonesia. Maka, target memensiunkan dini pembangkit listrik tenaga batu bara, serta menambah porsi energi terbarukan secara masif dengan dukungan pada kemudahan investasi dan proses pengadaannya perlu direalisasikan.

Komoditas batu bara dan industrinya harus dibuat jadi mahal dengan dimasukkan biaya eksternalitas yang ditimbulkan dari emisi yang tinggi dan dampak ekonomi sosial lingkungan yang mengikuti.

"Konsistensi kebijakan transisi energi ini akan meningkatkan akuntabilitas negara dan menjadi atraktif bagi investasi yang mendukung ekonomi hijau, termasuk di dalamnya bantuan internasional,” tegas Verena.

Pada 2019, Bappenas menyatakan bahwa upaya pengurangan emisi Indonesia pada tahun 2030 akan memberikan pertumbuhan PDB rata-rata 6,0 persen per tahun hingga 2045, dan menyediakan lebih dari 15 juta pekerjaan baru pada tahun 2045.