Menimbang Urgensi PLTN di Tengah Upaya Transisi demi Ketahanan Energi

123rf.com/Vaclav Volrab
Ilustrasi pembangkit listrik tenaga nuklir, PLTN.
17/3/2023, 17.47 WIB

Pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Indonesia dinilai penting sebagai salah satu sumber energi alternatif menuju net zero emission 2060. Kendati demikian, operasional PLTN disebut punya resiko tinggi, terutama terkait pengolahan limbah radioaktif.

Direktur Sumber Daya Energi, Mineral, dan Pertambangan Kementerian PPN atau Bappenas, Nizhar Marizi, menyampaikan bahwa pembangunan PLTN memiliki beberapa kelebihan jika dibandingkan dengan pembangunan pembangkit listrik lainnya.

Kelebihan tersebut yaitu hanya membutuhkan area yang kecil, pembangunannya yang fleksibel karena dapat dibangun dalam skala kecil maupun skala besar, dan memiliki biaya operasional yang rendah.

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005 sampai 2025 telah membuka kesempatan pengembangan energi nuklir di Indonesia sebagai energi alternatif karena adanya isu ketahanan energi di Indonesia, dampak buruk dari energi fosil, serta cadangan minyak dan gas yang menurun.

“Penggunaan dan pembangunan energi nuklir sebagai pembangkit akan mulai beroperasi tahun 2035, dan operasi PLTN skala besar dan komersil dicanangkan tahun 2040-2045,” kata Nizhar dalam diskusi bertajuk Pro-Kontra Penerapan Energi Nuklir Sebagai Sumber Energi yang Andal dan Bersih dikutip Jumat (17/3).

Namun, dalam pembangunan PLTN terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan, seperti industri pendukung, pengolahan limbah nuklir, penambangan uranium, kualitas sumber daya manusia hingga survey kelayakan.

Pengolahan limbah nuklir yang juga menjadi salah satu fokus masalah implementasi pembangkit nuklir. Limbah energi nuklir terbagi menjadi tiga jenis, yakni limbah nuklir dengan aktivitas tinggi, menengah, dan rendah, dimana risiko yang paling berbahaya adalah berasal dari aktivitas tinggi yang berasal dari bahan bakar bekas.

Halaman:
Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu