Pemerintah akan mengumumkan eksekusi pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Cirebon-1 pada KTT Perubahan Iklim PBB COP28 di Dubai pada November 2023. Ini merupakan pensiun dini PLTU pertama yang dieksekusi pemerintah.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Arifin Tasrif, mengatakan PLTU Cirebon dipilih untuk pensiun dini tahap pertama karena paling memungkinkan. Dana pensiun dini tersebut berasal dari Asian Development Bank (ADB) yang dialirkan melalui skema kerja sama transisi yang adil (Just Energy Transition Partnership/JETP).
Sebagai informasi, PLTU Cirebon-1 sudah mendapatkan komitmen dari ADB untuk merealisasikan percepatan pengoperasian PLTU.
Arifin mengatakan, pemerintah sudah mempersiapkan rencana pensiun dini PLTU lainnya dengan total kapasitas 4,8 gigawatt (GW) hingga 2023. Namun pendanaan yang sudah dulu ada yaitu melalui skema JETP.
"Semuanya sudah disiapkan, cuma kan masalah pendanaan itu gak gampang," ujarnya di Kantor Kementerian ESDM, Jumat (10/11).
Sementara itu , Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Rachmat Kaimuddin, mengatakan bahwa pensiun dini PLTU akan resmi diumumkan pada KTT Perubahan Iklim PBB COP28 di Dubai pada akhir November 2023.
"PLTU Cirebon satu yang lagi dikerjakan (kajiannya), mudah-mudahan bisa diumumkan," ujarnya saat ditemui di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Jumat (10/11).
Butuh Rp 4,7 Triliun
Pada November 2023, Sekretariat JETP merilis dokumen Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) yang berisi rencana pelaksanaan proyek JETP di Indonesia. Salah satunya terkait skenario pensiun PLTU batu bara.
Dokumen itu mencatat ada 2 PLTU yang diprioritaskan untuk pensiun dini, yakni PLTU Pelabuhan Ratu dan PLTU Cirebon-1.
PLTU Cirebon-1 memiliki kapasitas 660 MW dengan batas usia operasional alami sampai 2045. Namun untuk mendorong percepatan target net-zero emission sektor energi, Sekretariat JETP memproyeksikan PLTU Cirebon bisa pensiun dini pada 2037.
Dana pensiun dini PLTU Cirebon mencapai US$ 300 juta atau Rp 4,7 triliun.
Sementara PLTU Pelabuhan Ratu memiliki kapasitas 969 megawatt (MW) dengan batas usia operasional alami sampai 2042. PLTU ini juga ditargetkan pensun dini pada 2037 dan membutuhkan dana US$ 870 juta.
Dengan demikian, pensiun dini dua PLTU tersebut diestimasikan membutuhkan dana US$1,17 miliar atau sekitar Rp18,3 triliun.
JETP Hanya Fasilitasi Pensiun Dini 1,7 GW
Pemerintah berencana untuk melakukan pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara sebesar 1,7 Gigawatt (GW) dengan menggunakan danaJETP. Hal itu tercantum dalam draf dokumen perencanaan dan kebijakan investasi komprehensif (Comprehensive Investment and Policy Plan/CIPP) JETP yang baru saja dipublikasikan.
Rencana tersebut lebih rendah dari target Presiden Jokowi yang akan melakukan pensiun dini PLTU sebesar 5,2 GW. Rencana pensiun dini PLTU sebesar 5,2 GW juga sebenarnya sudah tercantum dalam draft JETP tahun lalu.
Menanggapi hal itu, Kepala Sekretariat JETP Indonesia, Edo Mahendra, mengatakan rencana pensiun dini PLTU sebesar 5,2 GW masih ada dalam skenario JETP. Namun rencana tersebut terbagi menjadi dua yaitu progresif dan konservatif.
"Apakah rencana pensiun dini 5,2 GW masih ada? Ada. Kenapa ko basenya 1,7 GW? Karena kita ingin bikin rencana yang sesuai dengan apa yang ada di depan kita," ujarnya dalam Komunikasi Publik mengenai Draf Rencana Investasi JETP melalui daring, Jumat (3/11).
Dia mengatakan, sejauh ini dukungan konkret pensiun dini PLTU datang dari program Energy Transition Mechanism. Hal itu yang pada akhirnya dimasukkan dalam CIPP JETP.
"Itu diatur berdasarkan yang ada di depan mata," ujarnya.
Target NZE Sulit Tercapai
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menyayangkan penghapusan pensiun dini PLTU batu bara 5GW karena ketidakjelasan sumber pendanaan. IESR menilai penghapusan rencana pengakhiran operasional PLTU batubara ini akan menyulitkan Indonesia untuk mencapai target net zero emission di 2050 dan meningkatkan bauran energi terbarukan setelah 2030.
“Dihapuskannya rencana pengakhiran operasional 5 GW PLTU batubara sebelum 2030 karena ketiadaan dukungan pendanaan sangat disesalkan. Ini membuat JETP Indonesia semakin jauh dari target Paris Agreement," kata Fabby.
Berdasarkan hasil kajian IESR, untuk mencapai target puncak emisi sebelumnya sebesar 290 juta ton karbon dioksida, perlu mengakhiri 8,6 GW PLTU di jaringan listrik PLN pada tahun 2030.
Untuk itu, Fabby mengatakan, pemerintah perlu melakukan dialog lanjutan dengan IPG untuk mengeksplorasi blended finance (pendanaan campuran) dengan skema matching fund (dana padanan). Dengan demikian, pendanaan pensiun dini PLTU berasal dari tambahan dana di atas komitmen IPG dan disamakan dengan dana dari sumber APBN serta sumber lainnya.