PLN Operasikan Stasiun Bahan Bakar Hidrogen Pertama di RI Awal 2024

ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/tom.
Pekerja mengecek tabung yang berisikan hidrogen di Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) Tanjung Priok, Jakarta Utara, Senin (20/11/2023). PT. PLN (Persero) resmi menciptakan 21 unit hidrogen dengan kemampuan produksi hingga 199 ton hidrogen per tahunnya yang nantinya akan dimanfaatkan sebagai bahan bakar kendaraan mobil sebagai energi terbarukan.
20/11/2023, 15.09 WIB

PT Perusahaan Listrik Negara atau PLN (Persero) akan mengoperasikan stasiun bahan bakar hidrogen pertama di Indonesia pada Januari 2024. Stasiun tersebut akan dibangun di Patimban, Jawa Barat, dan 4 lokasi di Jakarta yaitu Senayan , Tebet, Muara Karang, dan Tanjung Priok.

“Jadi di titik-titik tersebut sudah siap untuk menjadi stasiun hidrogen. Tempat-tempat sepanjang Pantura juga sudah siap hidrogen,” ujar Peneliti Utama Pusat Riset Konversi dan Konservasi Energi BRIN, Eniya Listiani Dewi dalam acara Peresmian Green H2 Plant PLN, di PLTGU Tanjung Priok, Jakarta, Senin (20/11). 

Eniya mengatakan, pembangunan stasiun hidrogen tersebut didirikan untuk mendorong upaya pemerintah dalam penggunaan mobil berbasis hidrogen. Apalagi, PLN baru saja meresmikan  green hydrogen plant sebanyak 21 unit hidrogen dengan kemampuan produksi hingga 199 ton hidrogen per tahun. 

“Dengan adanya 21 unit hidrogen ini bisa bisa dimanfaatkan bahan bakar hidrogennya untuk 424 mobil hidrogen,” kata dia.  

Dia mengatakan, biaya yang dikeluarkan untuk menggunakan bahan bakar hidrogen 35 persen lebih murah dibandingkan bahan bakar minyak (BBM) konvensional. Dengan biaya yang lebih hemat itu diprediksi bisa menempuh hingga 120 km.

“Apalagi bahan bakar hidrogen itu ramah lingkungan, tidak ada emisi yang keluar sama sekali “ujarnya. 

Eniya mengatakan, bisnis hidrogen untuk kebutuhan energi sudah ada di Indonesia. Namun hidrogen yang digunakan sebagai bahan bakar belum ada. Para stakeholder terkait juga tengah merumuskan regulasi khusus untuk hidrogen sebagai bahan bakar. 

“Karena di dalam RUU energi baru dan energi terbarukan (EBET) kita juga sudah memasukan hidrogen menjadi salah satu energi baru, jadi dalam waktu dekat kita bisa merumuskan regulasi ataupun peraturan pemerintah khusus tentang bisnis hidrogen sebagai bahan bakar,” kata dia. 

Sementara itu, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Yudo Dwinanda Priaadi menilai energi hidrogen sangat bagus dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk mencapai transisi energi dan target net zero emission (NZE) pada 2060. 

Menurut dia, penggunaan hidrogen sebagai bahan bakar harus dimulai dari sekarang karena memiliki potensi besar untuk kedepannya. Potensi tersebut baik untuk dikonsumsi domestik maupun ekspor.

Sebelumnya Yudo mengatakan, masih ada tantangan dalam pengembangan energi hidrogen, nuklir, dan amonia. Salah satunya agar harga energi baru tersebut masih mahal dan belum terjangkau oleh masyarakat. 

"Kita mau Indonesia maju. Untuk mencapai hal itu,  kita perlu energi baru yang affordable yang bisa kita dapatkan di sini, kita juga fokuskan kepada energi nuklir, hidrogen, dan amonia," ujar Yudo dalam acara UOB Gateway to ASEAN Conference 2023, di Jakarta, Rabu (11/10).

Dia mengatakan, pemerintah juga akan mendorong penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Namun, Indonesia tidak memiliki banyak kapasitas baterai untuk menyimpan energi matahari. Untuk itu, pemerintah sedang berupaya membangun banyak fasilitas baterai penyimpan energi tersebut. 

"Memang targetnya di 2060 energi kita ke depannya akan ke energi matahari. Maka dari itu, kita butuh baterai untuk penyimpanan. Rencananya kita akan bangun banyak baterai untuk bisa simpan panas ini dalam baterai," kata dia. 

Laporan International Energy Agency (IEA) menunjukkan, jumlah mobil listrik tipe Fuel-Cell Electric Vehicle (FCEV) global mencapai lebih dari 72.000 unit pada 2022. Jumlah itu meningkat 40% dibandingkan tahun sebelumnya (year-on-year/yoy).

Adapun FCEV alias kendaraan bebas emisi ini menggunakan hidrogen sebagai sumber energi untuk menghasilkan listrik dari sistem sel bahan bakarnya.

Menurut IEA, sekitar 80% FCEV adalah berupa mobil, disusul oleh truk sebesar 10%, dan bus hampir 10%. Laporan itu juga mencatat bahwa segmen truk FCEV tumbuh lebih cepat daripada mobil dan bus, yang meningkat 60% secara tahunan pada 2022.

Berdasarkan negaranya, IEA mengatakan, Korea Selatan menguasai lebih dari setengah mobil listrik berbahan bakar hidgrogen secara global pada 2022. Tercatat, sekitar 35.000 unit mobil FCEV pada tahun lalu diproduksi dari Negeri Gingseng, atau kontribusi 41% terhadap angka global.




Reporter: Nadya Zahira