Geothermal atau energi dari panas bumi diprediksi bisa berkontribusi hingga 16 persen dari total target dekarbonisasi nasional pada 2030, berdasarkan Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN. 

Direktur Utama PT Pertamina Geothermal Energy Tbk. Julfi Hadi mengatakan energi terbarukan yang paling potensial untuk mengurangi karbonisasi sektor industri di Indonesia adalah panas bumi. Energi panas bumi mampu menciptakan peluang berkelanjutan dalam transformasi menuju pemanfaatan sumber daya energi yang ramah lingkungan. 

Selain itu, Julfi mengatakan, energi panas bumi juga memiliki ketersediaan terbaik di antara energi terbarukan lainnya serta dapat dikontrol.

"Dengan potensi energi panasi bumi yang sangat besar di Indonesia, membuat energi bersih tersebut mampu menjadi baseload hijau untuk sektor industri,” ujar Julfi, melalui keterangan resmi, Selasa (5/12). 

Julfi menyampaikan hal tersebut saat menjadi pembicara dalam sesi talkshow “Collective Actions in Decarbonization to Support the Achievement of NDC and Net Zero Emission Target” di Paviliun Indonesia pada perhelatan Conference of Parties (COP) ke-28 di Dubai, Uni Emirat Arab, Minggu (3/12).

Dulfi mengatakan, Pertamina Geothermal Energy dapat berkontribusi terhadap 5% pengurangan karbon nasional pada 2030. Perusahaan pelat merah tersebut juga berkontribusi 89 juta ton terhadap penghindaran karbon dioksida (CO2) selama 10 tahun kedepan. 

Selain itu Perseroan juga memiliki inisiatif beyond geothermal untuk mendorong upaya dekarbonisasi, “Strategi yang kami jalankan diantaranya dengan menjajaki bisnis rendah karbon, yaitu green hydrogen dan green methanol serta mempromosikan sistem kredit karbon di Indonesia yang sedang berkembang dengan memasok kredit karbon ke agregator utama Pertamina Geothermal Energy, yaitu Pertamina New Renewable Energy (PNRE),” ujar Julfi.

Julfi mengungkapkan, saat ini Pertamina Geothermal Energy sedang mengembangkan produk sekunder (secondary product) panas bumi.

“Beberapa produk sekunder yang sedang dikembangkan oleh Pertamina Geothermal Energy di antaranya green methanol, green hydrogen, dan ekstraksi silika,” kata Julfi.

Pada perhelatan COP ke-28 ini juga dilaksanakan joint statement kemitraan lapangan panas bumi Suswa, Kenya antara PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) (IDX: PGEO), Geothermal Development Company (GDC), dan salah satu pemegang saham PGE, Masdar. Joint statement ini diumumkan oleh Presiden Republik Kenya H.E. William Ruto pada Sabtu (2/12) waktu setempat.

Adapun tujuan dari joint statement ini adalah untuk mengakselerasi pengembangan lapangan panas bumi Suswa.

“Kemitraan yang memiliki nilai investasi USD 1,2 miliar ini ditujukan untuk pengembangan 300 Megawatt (MW) tenaga panas bumi pada tahun 2030. Infrastruktur awal proyek ini pun akan segera dimulai,” ujar Presiden Republik Kenya H.E. William Ruto.

Pada kesempatan yang sama, Indonesia Special Envoy for The Global Blended Finance Alliance (GBFA) Mari Elka Pangestu menyampaikan, potensi panas bumi Indonesia yang sangat besar menjadi faktor krusial dalam mengupayakan dekarbonisasi terhadap sektor pembangkit listrik dan industri nasional. 

“Tentunya kolaborasi dan investasi terutama dari sektor swasta diperlukan dalam mendorong percepatan dekarbonisasi di berbagai sektor. Maka disinilah mekanisme blended finance perlu diimplementasikan,” ujar Mari.

Investasi Geothermal

Sejumlah perusahaan besar menunjukkan minatnya untuk mengembangkan energi baru terbarukan (EBT) sektor pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP). Namun, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut ada beberapa risiko yang harus mereka hadapi dalam pengembangan energi hijau tersebut. 

Yudo Dwinanda Priadi, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Dirjen EBTKE) Kementerian ESDM,  mengatakan risiko yang kerap kali ditemukan dalam pengembangan panas bumi adalah kendala dalam eksplorasi dan kebutuhan infrastruktur. 

“Memang bisnis usaha panas bumi ini sangat menjanjikan, banyak perusahaan besar yang berminat. Tapi, investasi panas bumi memiliki risiko yang cukup tinggi, termasuk pada tahap ekplorasi dan kebutuhan infrastruktur,” ujar Yudo saat dihubungi Katadata.co.id, Jumat (22/9). 

Dia mengatakan, pemerintah saat ini sudah membuat sebuah program untuk bisa mengurangi adanya risiko yang ditimbulkan akibat pengembangan panas bumi.  Untuk mengatasi risiko pada tahap eksplorasi, pemerintah akan melakukan program pengeboran guna meningkatkan kualitas data panas bumi. 

Yudo menyebutkan, pengeboran tersebut akan dilakukan pada 20 Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) dengan kapasitas 683 Megawatt (MW) sampai 2024.

“Sedangkan untuk risiko pada kebutuhan infrastruktur, seperti akses untuk ke lokasi proyek akan dikoordinasikan dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), “ujarnya.

Yudo mengatakan, para pengembang energi panas bumi melihat energi bersih tersebut sangat menjanjikan untuk pembangkit listrik yang berkelanjutan dan dapat menjadi andalan dalam kelistrikan nasional, “Dengan demikian potensi panas bumi itu diprediksi bisa mencapai 3,3 Gigawatt (GW) pada tahun 2030,” kata dia.

Reporter: Nadya Zahira