Perusahaan energi asal Amerika Serikat (AS), Chevron Corp. akan meningkatkan investasinya hingga tiga kali lipat menjadi US$ 10 miliar (sekitar Rp 142 triliun) untuk memangkas emisi karbon.
Perusahaan migas raksasa AS ini menyatakan belum siap untuk menetapkan target nol emisi karbon pada 2050 dan tidak akan berinvestasi pada proyek energi baru terbarukan (EBT).
Chevron membeberkan bahwa separuh dari dana tersebut akan digunakan untuk menurunkan emisi dari proyek bahan bakar fosil, yakni US$ 3 miliar (Rp 42,6 triliun) untuk mengembangkan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon, dan US$ 2 miliar (28,4 triliun) untuk menurunkan emisi gas rumah kaca.
Kemudian sisanya untuk mengembangkan bahan bakar ramah lingkungan, yakni US$ 3 miliar untuk bahan bakar terbarukan, dan US$ 2 miliar untuk hidrogen.
Perusahaan minyak di seluruh dunia berada dalam tekanan besar baik dari investor dan pemerintah untuk ikut turun tangan dalam upaya melawan perubahan iklim dan memangkas emisi karbon, untuk menghindari kenaikan temperatur global lebih dari 2 derajat Celsius.
Meski demikian, CEO Chevron Michael Wirth menyatakan bahwa perusahaan belum siap untuk berkomitmen pada target net-zero emissions pada 2050. Dia pesimistis Chevron ini mampu mengejar target tersebut.
"Perusahaan tidak ingin berada dalam posisi di mana kami menetapkan ambisi yang kami tidak percaya realistis dan dapat dicapai," katanya dikutip dari Reuters pada Selasa (21/9).
Dia menambahkan bahwa hanya sebagian kecil pemegang saham Chevron yang saat ini mendukung strategi yang digunakan oleh perusahaan minyak asal Eropa untuk berinvestasi pada tenaga surya dan angin dinilai yang kurang menguntungkan.
Bahkan Wirth menegaskan bahwa perusahaan lebih memilih mengembalikan uang pemegang saham dalam bentuk dividen yang lebih besar daripada berinvestasi pada proyek pembangkit listrik solar dan angin.
Pasalnya, dia menilai investasi pada proyek energi baru terbarukan menghasilkan tingkat pengembalian atau return yang rendah. Pemegang saham bebas menginvestasikan uang mereka pada proyek energi baru terbarukan. "Kami lebih memilih membayar dividen ke pemegang saham, dan biarkan mereka yang menanam pohon," ujarnya.
Sementara, Chevron memilih fokus pada target untuk mengurangi intensitas emisi gas rumah kaca yang mereka hasilkan sebesar 35% pada 2028, dibandingkan dengan tingkat emisi yang mereka hasilkan pada 2016 dari aktivitas migasnya.
Untuk tujuan itu, Chevron akan menggenjot produksi gas alamnya menjadi 40 miliar British thermal unit per hari (BBTUD) dan meningkatkan kapasitas produksi bahan bakar terbarukan menjadi 100.000 barel per hari. "Kami akan meningkatkan dividen kami, membeli kembali saham, dan berinvestasi pada bisnis rendah karbon," kata Wirth.
Chevron menargetkan untuk meningkatkan produksi hidrogen menjadi 150.000 ton per tahun untuk memasok pelanggan industri. Para pemerhati lingkungan mengatakan fokus Chevron adalah mengimbangi emisi dari produksi minyak dan gas, bukan mengurangi produksi minyak.
Ini berbeda dengan perusahaan minyak Eropa yang telah menetapkan target untuk beralih dari bahan bakar fosil dengan investasi yang lebih besar pada energi baru terbarukan (EBT) dan bebas karbon pada 2050.
British Petroleum (BP), misalnya, akan menginvestasikan sebesar US$ 3-4 miliar per tahun untuk proyek-proyek rendah karbon pada 2025 dan menurunkan produksi migasnya sebesar 40% pada dekade berikutnya. Sementara Royal Dutch Shell pada Februari lalu menetapkan investasi tahunan sebesar US$ 2-3 miliar untuk energi bersih.
Sedangkan perusahaan migas AS seperti Chevron, Exxon Mobil, dan Occidental Petroleum lebih fokus pada upaya penurunan emisi karbon dengan dukungan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon.