Lima perusahaan energi terbesar Eropa, yakni BP (Inggris), Royal Dutch Shell (Belanda), TotalEnergies (Prancis), Equinor (Norwegia), dan Eni (Italia), dilaporkan mulai mengurangi investasi mereka di bisnis minyak dan gas (migas) seiring transisi energi menuju penggunaan energi baru terbarukan (EBT) yang rendah karbon.
Perusahaan-perusahaan tersebut berencana menggunakan keuntungan yang mereka dapat dari lompatan harga migas sepanjang 2021, untuk mengembalikan uang investor yang ingin beralih ke aset yang lebih hijau dan berkelanjutan.
Keuntungan tersebut biasanya diinvestasikan kembali pada proyek baru untuk meningkatkan produksi dan cadangan migas. Namun tahun ini perusahaan perusahaan tersebut diperkirakan mengembalikan uang investor hingga US$ 54 miliar (lebih dari Rp 775 triliun) dalam bentuk dividen dan pembelian kembali saham.
“Semua perusahaan migas besar mengurangi (portofolionya) hingga ke tingkat tertentu, dengan menjual aset yang sudah tua dan beralih ke aset yang memberikan pengembalian investasi yang lebih besar bagi pemegang saham,” kata Manajer Portofolio BP Capital Fund Advisors, Ben Cook, seperti dikutip dari Reuters, Rabu (12/1).
Hal ini seiring meningkatnya tekanan dari investor, aktivis lingkungan, dan pemerintah untuk mengatasi perubahan iklim. Meskipun di tengah prospek harga dan permintaan minyak yang masih kuat tahun ini.
Seperti yang dilakukan Shell ketika menjual bisnis minyak serpih (shale oil) di Amerika Serikat (AS) senilai US$ 9,5 miliar (sekitar Rp 135 triliun) pada September 2021 dengan sekitar US$ 7 miliar (Rp 100 triliun) dikembalikan kepada investor.
Produksi Diperkirakan Turun 15%
Dengan berkurangnya investasi pada proyek baru, produksi minyak kelima perusahaan energi terbesar Eropa tersebut diperkirakan turun 15% menjadi di bawah 6 juta barel per hari (bph) pada 2030, setelah mencapai puncaknya sekitar 7 juta bph pada 2025.
BP (Inggris) dilaporkan bakal memangkas produksi minyaknya hingga 40% atau sekitar 1 juta bph pada 2030 dari level produksi 2019. Sedangkan Shell mengatakan produksi minyaknya telah mencapai puncak pada 2019, sementara Eni mengatakan produksinya akan stabil pada 2025.
Penurunan tajam yang sudah terlihat dalam investasi dalam pengembangan minyak baru oleh perusahaan-perusahaan Eropa dalam beberapa tahun terakhir telah membantu mendorong harga minyak jangka panjang lebih tinggi di tengah ekspektasi pasokan yang lebih rendah dari permintaan.
"Kehati-hatian seperti itu dapat menopang harga migas, karena permintaan energi tampaknya akan terus tumbuh dan pasokan terbatas, terutama karena sumber energi terbarukan dan alternatif belum terlihat siap untuk menggantikan," kata direktur investasi di platform online AJ Bell, Russ Mold.
Apalagi Energy Information Administration (EIA) AS memperkirakan permintaan minyak mencapai puncaknya sekitar tahun 2030.
Meski transisi energi semakin kencang, minyak tetap akan menjadi bahan bakar utama, sedangkan konsumsi gas yang menjadi bahan bakar transisi untuk meninggalkan batu bara, yang merupakan pencemar berat, akan terus meningkat, terutama di Asia.
Pada saat yang sama, perusahaan minyak Eropa mengalihkan pengeluaran ke energi terbarukan seperti angin dan tenaga surya, berharap keuntungan dari bisnis rendah karbon mereka akan menyamai atau bahkan tumbuh melampaui pendapatan migas dalam jangka panjang.
Chief Executive Officer (CEO) Shell Ben van Beurden mengatakan bahwa mereka perusahaan memiliki visi jangka panjang namun sementara ini tetap akan menikmati keuntungan dari harga minyak yang kuat.
"Kami tidak keberatan untuk berinvestasi secara besar-besaran di pasar (energi terbarukan) yang terus meningkat karena kami percaya pada saat kami dapat memulai untuk memanennya, kita akan melampaui puncak (kejayaan) itu (migas) lagi," ujarnya.
Strategi Eropa akan menjadi ujian, kata Cook dari BP Capital Fund. “Sulit untuk mengatakan siapa yang benar dalam laju transisi. Waktu akan memberi tahu apakah transisi energi Eropa berjalan terlalu cepat.”
Itu berbeda dengan perusahaan energi asal AS yang justru berinvestasi lebih banyak ke proyek migas untuk mengatasi harga energi dan inflasi yang tinggi. Seperti Chevron dan Exxon yang dinilai semakin menjauh dari energi terbarukan.
CEO Chevron Mike Worth mengatakan investasi pada energi terbarukan "tidak menghasilkan pengembalian (return) dua digit yang diinginkan investor."