Capaian investasi energi baru terbarukan dan konservasi energi (EBTKE) tahun ini baru mencapai US$ 0,58 miliar atau 14% dari target sebesar US$ 3,98 miliar. Rendahnya capaian ini disebut lantaran tak kunjung disahkannya perpres tarif EBT.
Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, pada rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VII pada Senin (6/6). Menurut Dadan target investasi EBT US$ 3,98 miliar ditetapkan dengan asumsi perpres tarif EBT sudah disahkan pada awal tahun.
“Kami mengasumsikan dulu bahwa (target investasi) US$ 3,98 miliar ini basisnya adalah Perpres tentang tarif EBT bisa keluar di awal tahun 2022. Sehingga dari sisi realisasi sekarang baru di angka 14% atau US$ 0,58 miliar,” kata Dadan.
Pada kesempatan tersebut, Dadan juga menyinggung tentang porsi EBT dalam bauran energi nasional tahun ini yang ditargetkan sebesar 15,7% akan sulit tercapai. Tahun lalu porsi EBT dalam bauran energi nasional mencapai 12,16%.
“Dari sisi realisasi ini banyak terseok-seok dari sisi implementasi. Banyak tantangan. Tahun ini Seharusnya naiknya 3%, tapi dari kalkulasi yang kami lakukan tidak mungkin kita akan mencapai angka 15,7% untuk 2022 ini,” ujar Dadan.
Sebelumnya Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan, Chrisnawan Anditya mengatakan draf rancangan Perpres EBT telah rampung. Setelah selesai difinalisasi Kemenkeu, berikutnya akan dilaporkan ke Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) untuk proses lebih lanjut.
"Saat ini sedang difinalisasikan dengan Kemenkeu yang sebelum dilaporkan kepada Setneg untuk proses selanjutnya. Harapannya bisa segera ditekan dalam bulan ini juga," ujarnya Kamis (21/10/2021).
Selain soal Perpres Tarif EBT yang tak kunjung rampung, masih ada sejumlah regulasi yang harus dibenahi untuk mengatur pemanfaatan energi baru dan terbarukan. Salah satunya, pemerintah akan mengevaluasi Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 26 tahun 2021 mengenai pemasangan PLTS atap swasta, .
Rencana revisi aturan ini setelah muncul tudingan PLN mempersulit proses pemasangan PLTS atap pelanggan industri, seperti yang dilaporkan oleh PT Mitsubishi Motors Krama Yudha Indonesia (MMKI). Dalam hal ini MMKI hanya boleh memasang PLTS atap 15% dari total kapasitas listrik terpasang dari PLN sebesar 10 megawatt (MW).
Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, dalam Permen ESDM Nomor 26 tahun 2021, pemasangan PLTS atap disesuaikan dengan kapasitas maksimum yang terpasang.
"Itu yang sekarang dinegososikan antara PLN dan MMKI, cocoknya bagaimana. Sehingga tidak ada listik berlebih yang masuk ke jaringan PLN atau juga kebalikannya potensi yang ada di MMKI itu bisa termanfaatkan juga,” kata Dadan, Selasa (19/4).
Dadan mengakui bahwa permintaan para pelaku industri yang ingin memasang PLTS atap dengan kapasitas maksimum kerap ditolak PLN.
“Karena konsumen itu melihatnya 'Saya bisa masang 100%, sesuai kapasitas' tapi PLN melihatnya beda, 'Anda kebesaran kalau 100%’. Pemakaian PLTS atap di industri tidak sampai 100% atau sesuai dengan kapasitas terpasangnya,” ujarnya.
Oleh karena itu, pemerintah akan mengevaluasi Permen ESDM Nomor 26 tahun 2021 karena aturan tersebut tidak dijalankan sejak ditetapkan pada tahun lalu. Dadan pun tak menampik, bahwa dalam beberapa hal, PLN mengajukan keberatan dalam poin-poin yang tertulis dalam Permen tersebut.
“Kami sekarang sedang mengkajinya lagi, bukan membatalkan ya. kita punya Permen seperti ini tapi tidak jalan. Ini harus ada jalan keluar ini,” tukasnya.