Memahami Pajak Masukan dan Keluaran, Dua Komponen Penting PPN

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Ilustrasi, logo Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Dalam sistem PPN dikenal pajak masukan dan pajak keluaran, yang mencegah terjadinya efek pajak berganda.
Penulis: Agung Jatmiko
23/3/2022, 14.35 WIB

Ini diatur dalam Pasal 9 Ayat (9) UU Nomor 7 tahun 2021, yang secara spesifik menyebutkan:

"Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) Masa Pajak setelah berakhirnya Masa Pajak saat Faktur Pajak dibuat sepanjang belum dibebankan sebagai biaya atau belum ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak serta memenuhi ketentuan pengkreditan sesuai dengan Undang-Undang ini".

Penetapan waktu tiga bulan setelah masa pajak ini dilakukan dengan pertimbangan kemungkinan terjadinya kesalahan dalam penulisan faktur. Misalnya, faktur pajak yang dibuat terlambat dikirimkan oleh PKP penjual ke PKP pembeli, sehingga PKP pembeli belum bisa melakukan pengkreditan pajak masukan.

Pajak Keluaran dalam PPN

Dalam PPN, pajak keluaran merupakan pajak terutang yang wajib dipungut PKP saat menyerahkan BKP, JKP, ekspor BKP berwujud dan tidak berwujud, serta ekspor JKP. Singkatnya, pajak keluaran merupakan PPN yang harus dibayarkan kepada otoritas pajak oleh PKP atas penyerahan barang atau jasa.

Kemudian, sebagai bukti PKP telah memungut PPN, maka diharuskan menerbitkan faktur pajak. Dalam faktur pajak tersebut tertera besaran PPN yang harus dibayar oleh pihak pembeli kepada PKP penjual. PPN yang tercantum dalam faktur pajak inilah yang menjadi pajak keluaran bagi PKP yang melakukan penyerahan barang atau jasa.

Terkait faktur pajak yang telah diterbitkan, PKP wajib melaporkannya ke otoritas pajak, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Pelaporannya dilakukan melalui Surat Pemberitahuan (SPT) sesuai masa pajak terjadinya transaksi atau disebut SPT Masa PPN.

Umumnya, PKP telah memahami kewajiban pungutan PPN saat menyerahkan BKP dan/atau JKP di dalam kegiatan pokok usahanya. Namun, terkadang ada temuan atau sengketa antara otoritas pajak dan PKP terkait penyerahan atas transaksi di luar kegiatan usaha.

Dalam aturan perpajakan, terdapat ketentuan yang mengatur penyerahan tertentu yang dikenakan PPN. Aturan ini tertera dalam Pasal 16C dan 16D UU PPN.

Dalam Pasal 16C, disebutkan bahwa PPN tetap dikenakan atas kegiatan membangun sendiri, meski dilakukan tidak dalam kegiatan usaha. PPN juga tetap dipungut terhadap pekerjaan oleh orang pribadi atau badan, yang hasilnya digunakan sendiri.

Aturan turunan untuk Pasal 16C UU PPN ini adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 163/PMK.03/2012 tentang Batasan dan Tata Cara Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Atas Kegiatan Membangun Sendiri. Pungutan PPN tetap dijalankan meski bangunan yang didirikan tidak digunakan untuk kegiatan usaha, karena menjadi barang yang akan mengalami pertambahan nilai.

Secara perinci, objek yang diatur dalam regulasi ini dibagi menjadi dua, yakni yang membangun dengan kontraktor dan yang membangun benar-benar mandiri. Jika dengan menggunakan kontraktor, maka pemungutan PPN merupakan kewajiban kontraktor, dengan catatan kontraktor tersebut merupakan PKP. Jika kontraktor yang digunakan bukan PKP, maka wajib pajak yang menggunakan jasanya berkewajiban melakukan penyetoran dan pelaporan PPN.

Ketentuan lain yang mengatur terkait transaksi penyerahan di luar kegiatan usaha adalah, Pasal 16D UU PPN. Aturan ini memuat perincian terkait penjualan barang yang dari awal tidak untuk diperjualbelikan. Pungutan PPN terjadi jika PKP mengalami likuidasi, pembubaran atau pencairan aset, yang kemudian menuntut PKP yang dimaksud menjual aset yang dimilikinya.

Halaman: