Memahami Surat Paksa, Langkah Tegas Fiskus Jerat Penunggak Pajak

Arief Kamaludin|KATADATA
Ilustrasi, Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Dalam menjalankan tugasnya, DJP selaku aparatur perpajakan atau fiskus berhak mengambil langkah-langkah terkait penagihan utang pajak, termasuk menerbitkan Surat Paksa.
Penulis: Agung Jatmiko
14/4/2022, 14.48 WIB

Dalam praktik perpajakan, tak jarang wajib pajak (orang pribadi atau badan) mengabaikan kewajibannya. Seperti diketahui, kewajiban wajib pajak adalah melakukan pembayaran, pelaporan, pemungutan atau pemotongan pajak.

Saat negara membutuhkan pajak untuk melanjutkan pembangunan, kesadaran dan kepatuhan seluruh masyarakat untuk membayar pajak jelas diharapkan. Atas tindakan wajib pajak yang mengabaikan kewajibannya, aparatur perpajakan atau fiskus berhak melakukan penindakan. Tindakan penagihan pajak ini dilakukan secara bertahap, mulai dari mengingatkan hingga mengambil tindakan tegas.

Nah, salah satu tindakan tegas yang diambil oleh fiskus adalah mengeluarkan Surat Paksa. Apa sebenarnya Surat Paksa, dan dalam kondisi seperti apa fiskus mengeluarkannya? Berikut ini penjelasannya.

Pengertian Surat Paksa

Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak. Ini merupakan langkah terakhir yang dilakukan oleh fiskus dan merupakan langkah yang terbilang lebih keras ketimbang upaya-upaya penagihan pajak yang dilakukan fiskus.

Dasar hukum Surat Paksa adalah Undang-undang (UU) Nomor 19 tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP). Aturan ini diperkuat oleh Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 189/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Penagihan Pajak atas Jumlah Pajak yang Masih Harus Dibayar.

Surat Paksa dikeluarkan apabila wajib pajak tidak membayar tagihan pajak tidak atau kurang membayar sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran. Surat Paksa juga dikeluarkan apabila sampai dengan jatuh tempo penundaan pembayaran atau angsuran pembayaran, wajib pajak tidak melaksanakan kewajibannya.

Karena Surat Paksa merupakan upaya penindakan yang tergolong keras, cara ini tidak langsung dilakukan fiskus terhadap wajib pajak yang mengabaikan kewajiban perpajakannya. Sebelum mengeluarkan Surat Paksa, fiskus terlebih dahulu mengeluarkan teguran.

Sebelum mengeluarkan teguran, pemerintah sebenarnya telah memberikan kesempatan wajib pajak untuk menjalankan kewajibannya. Bahkan, bagi wajib pajak yang kesulitan, dimungkinkan untuk mengangsur atau menunda pembayaran utang pajak.

Jika fiskus telah melakukan upaya berupa mengingatkan dan menegur, namun wajib pajak mengabaikannya, maka Surat Paksa menjadi jalan terakhir untuk menindak.

Komponen dan Karakteristik Surat Paksa

Berdasarkan Pasal 7 Ayat (2) UU Nomor 19 tahun 2000 atau UU PPSP, Surat Paksa harus memuat detail-detail yang diperlukan, antara lain:

  1. Nama wajib pajak, atau nama wajib pajak dan penanggung pajak
  2. Dasar penagihan
  3. Besaran utang pajak
  4. Perintah untuk membayar

Perincian ini dilakukan untuk mempertegas wajib pajak yang sebelumnya telah diberi teguran, atau peringatan.

Dari sisi fungsi, Surat Paksa dapat digunakan untuk menagih semua jenis pajak, baik itu pajak di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Selain itu, surat paksa juga memiliki fungsi ganda, yakni dapat digunakan untuk menagih pajak dan biaya-biaya penagihan.

Mengutip www.ddtc.com, Surat Paksa diterbitkan jika wajib pajak tidak melunasi utang pajak sesuai dengan batas waktu yang ditentukan. Adapun, batas waktu yang dimaksud adalah 21 hari, terhitung sejak disampaikannya surat teguran. Artinya, Surat Paksa baru dapat dikeluarkan apabila wajib pajak tetap menunggak utang pajak melewati batas waktu yang ditentukan.

Selain berdasarkan jatuh tempo yang ditetapkan melalui surat teguran, penerbitan Surat Paksa juga dapat dilakukan dalam kondisi tertentu. Yang dimaksud kondisi tertentu tersebut adalah, apabila wajib pajak tidak memenuhi ketentuan yang tercantum dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak yang telah disepakati.

Surat Paksa memiliki kedudukan paling tinggi di antara bentuk/upaya lain yang dilakukan fiskus terhadap pengemplang pajak. Berdasarkan Pasal 7 Ayat (1) UU PPSP Surat Paksa memiliki kekuatan eksekutorial. Kedudukan surat ini juga sama dengan putusan pengadilan pajak yang memiliki berkekuatan hukum tetap.

Karena memiliki kedudukan yang sama dengan grosse putusan hakim dalam perkara perdata, maka terhadap Surat Paksa tidak bisa dilakukan banding. Apalagi, Surat Paksa memiliki sifat in kracht van gewijsde atau telah berkekuatan hukum yang pasti.

Tindakan Pasca-Surat Paksa

Seperti dijelaskan sebelumnya, Surat Paksa merupakan langkah terakhir yang diambil oleh fiskus untuk menagih utang pajak. Seperti halnya surat peringatan/teguran, Surat Paksa juga memiliki batas waktu, yakni 48 jam.

Jika utang pajak tidak dilunasi oleh wajib pajak dalam jangka waktu 48 jam setelah Surat Paksa diberitahukan, maka fiskus akan menerbitkan surat perintah penyitaan terhadap aset wajib pajak. Pengajuan keberatan oleh wajib pajak tidak mengakibatkan penundaan pelaksanaan Surat Paksa, sebab surat ini berkekuatan hukum yang pasti, setara dengan putusan hakim.

Atas aset yang disita ini, fiskus berhak melelang dan/atau menjual hingga terkumpul besaran sesuai utang pajak. Jika dalam periode penyitaan tersebut wajib pajak akhirnya melunasi utang pajaknya, beserta biaya-biaya penagihan, maka penyitaan dicabut dan aset dikembalikan.