Dalam sistem perpajakan Indonesia, semua bentuk penghasilan yang diterima oleh orang pribadi dikenakan pajak penghasilan atau PPh. Ini berlaku untuk semua profesi, termasuk influencer.
Seperti diketahui, influencer merupakan bagian yang penting dalam strategi pemasaran. Sebab, tugasnya adalah untuk mempengaruhi, mengubah opini, dan perilaku audience melalui media sosial, dengan karakter influencer itu sendiri. Tak jarang sebuah brand atau perusahaan rela merogoh kocek untuk memanfaatkan jasa influencer.
Karena influencer menerima pendapatan dari aktifitasnya, maka secara otomatis terikat dengan kewajiban pembayaran pajak. Pungutan pajak yang dikenakan pada pendapatan atau penghasilan influencer sendiri terdiri dari dua, yakni PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 23.
PPh Pasal 21 atau PPh 21, dikenakan apabila influencer yang dimaksud langsung berhubungan dengan pengguna jasanya. Sementara, influencer akan dipotong PPh Pasal 23 jika pengguna jasa endorse influencer tersebut dilakukan melalui jasa agen atau melalui pihak ketiga.
Seperti apa dasar pengenaan pajak terhadap profesi influencer ini? Simak ulasan singkat berikut.
Dasar Pengenaan Pajak untuk Influencer
Berdasarkan Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), profesi influencer yang merupakan wajib pajak orang pribadi dengan ketentuan penghitungan penghasilan neto terbagi menjadi dua, yakni sebagai berikut:
1. Influencer Pekerja Bebas
Influencer yang merupakan pekerja bebas atau freelance wajib menyelenggarakan pembukuan, jika penghasilan yang diperoleh lebih dari Rp 4,8 miliar setahun.
Rumusnya:
Penghasilan Bruto – Biaya -/+ Koreksi Fiskal
Adapun, jika penghasilan influencer kurang dari Rp 4,8 miliar setahun, bisa melakukan pencatatan.
Rumusnya:
Penghasilan Bruto x Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
Lalu, jika influencer berhak dikenakan PPh Final PP No. 23/2018, maka penghitungannya menggunakan tarif PPh Final.
Rumusnya:
Peredaran Bruto x Tarif PPh Final 0,5%
2. Influencer Menggunakan Jasa Agensi
Jika influencer beroperasi di bawah naungan agensi, maka perhitungan pemotongan PPh seperti pemotongan PPh Pasal 21 yang dilakukan perusahaan pada umumnya terhadap karyawannya.
Apabila influencer hanya memperoleh penghasilan dari hubungan kerja dengan pemotong PPh 21/26, serta tidak memperoleh penghasilan lainnya, maka rumusnya adalah sebagai berikut:
(50% dari jumlah kumulatif penghasilan bruto – PTKP per bulan) x Tarif PPh Pasal 17
Adapun, jika influencer memperoleh penghasilan lainnya selain dari hubungan kerja dengan pemotong PPh 21/26, serta mendapatkan penghasilan lainnya, maka rumusnya adalah sebagai berikut:
50% dari jumlah kumulatif penghasilan bruto x Tarif PPh Pasal 17
Mekanisme Penghitungan PPh untuk Influencer
Dalam penghitungan PPh terhadap influencer sebagai wajib pajak orang pribadi, terdapat beberapa pilihan metode perhitungan. Dilansir dari klikpajak.id, beberapa metode perhitungan yang dimaksud, adalah sebagai berikut:
1. Memakai Mekanisme PPh Orang Pribadi secara NPPN
Perhitungan PPh untuk influencer bisa menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto atau NPPN dengan klasifikasi Lapangan Usaha NPWP 90002, yakni kegiatan pekerja seni. Hal ini termaktub dalam Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-17/PJ/2015 tentang NPPN.
Sebagai informasi, penghitungan PPh orang pribadi dengan mekanisme NPPN ini digunakan bagi wajib pajak orang pribadi yang tidak menyelenggarakan pembukuan. Norma penghitungan penghasilan neto ini bisa digunakan oleh wajib pajak dengan peredaran bruto kurang dari Rp 4,8 miliar dalam satu tahun.
Untuk menggunakan mekanisme NPPN ini, wajib pajak orang pribadi yang dimaksud harus mengajukan pemberitahuan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
2. Memakai Mekanisme PPh Orang Pribadi Umum Metode Pembukuan
Mekanisme umum ini berlaku bagi wajib pajak orang pribadi yang menjalankan usaha dan/atau pekerjaan bebas dengan melakukan pembukuan. Pembukuan yang dimaksud, adalah proses pencatatan keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya.
Kemudian, jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periode tahun pajak tersebut.
Perhitungan pajak bagi orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan ini, dilakukan dengan menggunakan mekanisme perhitungan biasa sesuai ketentuan tarif pada UU PPh Pasal 17.
3. Memakai Mekanisme PPh Final PP 23/2018
Mekanisme perhitungan menggunakan aturan PPh Final ini, berlaku bagi wajib pajak pribadi yang memiliki peredaran bruto tidak lebih dari Rp 4,8 miliar dalam setahun. Wajib pajak orang pribadi yang dimaksud, hanya menyelenggarakan pencatatan saja dalam satu tahun pajak.
Perhitungan PPh orang pribadi ini tidak menyelenggarakan pembukuan, sehingga akan dikenakan PPh yang bersifat final sesuai tarif dan ketentuan pada PP 23 Tahun 2018, yakni dikenakan tarif sebesar 0,5% dari omzet bruto.