Dalam dua bulan belakangan, Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia alias Satgas BLBI kembali menagih utang obligor dan debitur kepada negara sejumlah Rp 110,45 triliun. Sebelumnya, harta Tommy Soeharto disita Rp 2,6 triliun pada Jumat (5/11). Ada juga keluarga Bakrie yang mulai mencicil utang milik PT Usaha Mediatronika Nusantara ke Satgas BLBI.
Tak hanya kepatuhan yang didapat Satgas BLBI, mereka juga sempat mendapat gugatan dari obligor BLBI, seperti kakak-beradik Setiawan Harjono dan Hendrawan Harjono yang dipanggil oleh Satgas BLBI. Keduanya adalah pemilik Bank Asia Pasific atau Aspac yang memiliki utang sebesar Rp 3,57 triliun. Bukan hanya sekali, Satgas BLBI sudah mengeluarkan tiga panggilan pertemuan bagi kakak beradik Harjono, yaitu pada 9 September, 20 September, dan terakhir panggilan melalui media massa pada awal bulan lalu.
Alih-alih memenuhi panggilan, Setiawan dan Hendra justru menaikkan gugatan kepada Kementerian Keuangan dan Satgas BLBI.
Menggandeng Kevin Sofjan selaku kuasa hukum, keduanya melayangkan gugatan kepada pemerintah. Pertama, menyatakan bahwa tergugat yakni pemerintah dalam hal ini Satgas BLBI dianggap melakukan perbuatan hukum terhadap kedua obligor tersebut. Kedua, menyatakan bahwa Setiawan dan Hendrawan bukanlah penanggung utang obligor atas Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) PT Bank Aspac (BBKU).
Ketiga, keduanya menyatakan tidak bertanggung jawab atas piutang negara berdasarkan Keputusan Panitia Urusan Piutang Negara Cabang DKI Jakarta Nomor PJPN-09/PUPNC.10.01/2019 tentang Penetapan Jumlah Piutang Negara Obligor PKPS PT Bank Asia Pacific (BBKU) Atas Nama Setiawan Harjono atau Hendrawan Harjono tanggal 23 Mei 2019. Terakhir, mereka menyatakan batal atau tidak berkekuatan hukum atau setidak-tidaknya tidak berlaku mengikat bagi Para Penggugat yaitu Kesepakatan Awal tanggal 20 April 2000.
Menanggapi gugatan ini, Satgas BLBI melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan mengadakan sidang pada Senin (25/10) lalu. Dalam pengumuman sidang tersebut diketahui bahwa Setiawan Harjono (Oei Yung Gie) yang kini bernama Steven Hui dan Hendrawan Harjono (Xu Jiang Nan) memiliki dua alamat di negara yang berbeda. Di Indonesia, mereka sama-sama mempunyai rumah di Menteng, Jakarta Pusat.
Namun kenyataannya, mereka sudah bermukim di Singapura, Hendrawan beralamat di SGX Centre sementara Setiawan bermukim di Peninsula Plaza, North Bridge Road. Dari alamat di negara tetangga inilah kakak beradik Harjono melayangkan gugatannya kepada Satgas BLBI.
Teranyar, Majelis Hakim memutuskan untuk menunda persidangan atas gugatan obligor BLBI Harjono bersaudara terhadap pemerintah. Agenda sidang yang semula digelar pada 25 Oktober ditunda menjadi 22 November 2021.
Direktur Hukum dan Humas Direktorat Jenderal Kekayaan (DJKN) Negara Kementerian Keuangan Tri Wahyuningsih Retno Mulyani mengatakan penundaan bukan karena hal-hal yang substansial. Ini merupakan persidangan awal sehingga pengadilan masih melakukan pengecekan administrasi dan lainnya. Adapun baik penggugat dalam hal ini Harjono bersaudara maupun tergugat yakni pemerintah dilaporkan hadir dalam persidangan tersebut.
Bank Aspac Masuk BBKU BLBI
Pada Januari 1998, Bank Indonesia meningkatkan bantuan dananya terhadap perbankan nasional. Peningkatan bantuan ini dilakukan sehubungan dengan kemacetan sektor riil perekonomian Indonesia. Restrukturisasi sistem perbankan pun tak terelakkan. Pada bulan yang sama, lahirlah Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang berfungsi untuk memulihkan industri perbankan nasional.
Bank-bank penerima BLBI mulai menunjukkan sikap non-kooperatif dengan tidak membayar bunga BLBI dan cicilan pokoknya. Sehingga, keadaan ini memaksa pemerintah harus menanggung dana BLBI dan membebankannya kepada rakyat melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Seharusnya, tanggungan bank sentral saat itu hanya Rp 24,5 triliun terhadap dana BLBI. Itu saja telah membuat pemerintah menjual aset-aset oleh BPPN, serta harus ditanggung melalui APBN. Jumlah dana BLBI yang telah disalurkan oleh BI mencapai Rp 144,56 triliun di akhir 1998, namun pada tahun 2000, pemerintah melalui Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan adanya indikasi kerugian negara sebanyak Rp 138,7 triliun atau sebesar 95,5 % dana BLBI oleh para obligor.
Hasil temuan BPK tersebut berdasarkan pada dana yang ada di 48 bank dan terbagi ke dalam empat kategori, yakni lima Bank Take Over (BTO), 15 Bank Dalam Likuidasi (BDL), 10 Bank Beku Operasi (BBO), dan 18 Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU). Bank Aspac masuk dalam jajaran 18 BBKU saat itu.
Siapa Duo Harjono?
Sidang kasus penyalahgunaan dana BLBI oleh Bank Aspac dilaksanakan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Alih-alih menggunakan dana BLBI untuk menyelamatkan Bank Aspac, dana tersebut justru digunakan untuk memperkaya diri dan badan hukum yang terafiliasi dengan Bank Aspac.
Saat itu, Setiawan tengah menjabat sebagai Presiden Direktur Bank Aspac, sedangkan Hendrawan menjabat sebagai Direktur di Bank tersebut. Dilansir dari tesis bertajuk Penyelesaian Utang BLBI Dalam Kajian Hukum Responsif dan Represif” karya M. Yusfidli Adhyaksana, Setiawan didakwa telah merugikan negara sekitar Rp 583,5 miliar, di mana dana diperoleh dari fasilitas BLBI.
Adapun dana tersebut kemudian digunakan untuk peningkatan netto valas sebesar Rp 33,8 miliar, pencarian dana NCD kepada pihak terkait sebesar Rp 97 miliar, dan pemberian suku bunga swap kepada Bank Sanho, Bank Mega, dan Bank Putra Multikarsa sebesar Rp 1,2 miliar. Selanjutnya, Setiawan melalui Bank Aspac juga melakukan penarikan deposito sebesar Rp 53 miliar, dan pembayaran pokok dan bunga swap sebesar Rp. 86,6 miliar. Masalahnya, keempat aksi tersebut dilakukan Setiawan meski saldo debet Bank Aspac di Bank Indonesia dalam posisi negatif.
Akibat tindakan tersebut, Setiawan sempat divonis 5 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri dan divonis 6 tahun hukuman di Pengadilan Tinggi, dilansir dari buku Bantuan Likuiditas Bank Indonesia karya Agus Pandoman.
Pada 16 November 2001, Setiawan dijatuhkan hukuman penjara selama lima tahun di rumah tahanan (rutan). Namun proses masuknya Setiawan ke dalam rutan sempat tertunda selama dua tahun perkara penyakit jantung koroner dan depresi yang dideritanya.
Sebagai informasi, Setiawan Harjono juga merupakan besan Setya Novanto, mantan ketua DPR yang divonis 15 tahun penjara karena korupsi e-KTP. Putra Setiawan, Jason Harjono menikah dengan putri Setya Novanto, Dwina Michaela pada 4 Desember 2015 dan dihadiri masing-masing orang tua mempelai.
Adapun Hendrawan, dikutip dari buku Bantuan Likuiditas Bank Indonesia karya Agus Pandoman, mantan wakil presdir Bank Aspac itu divonis lima tahun penjara oleh majelis hakim dan harus segera ditahan dalam rumah tahanan negara (rutan).
Selain itu, Pengadilan Tinggi Jakarta juga menjatuhkan hukuman kepada Hendrawan untuk membayar denda Rp 30 juta dan uang ganti rugi sebesar Rp 583,5 miliar. Mahkamah Agung sempat menolak kasasi Hendrawan dan memvonisnya empat tahun penjara.
Bisnis Bank Aspac
Penyelewengan dana BLBI itu dilakukan oleh Harjono bersaudara dengan memberikan kredit kepada perusahaan anggota grup bank Aspac sendiri. Beberapa perusahaan tersebut meliputi bisnis Aspac di bidang keuangan seperti Aspac Finance, Aspac Upindo Sekuritas, dan Aspac Life Insurance. Ada juga bisnis properti, yakni Aspac Permai dan Graha Aspac.
Tak hanya itu, Bank Aspac juga diketahui meningkatkan aktiva neto valas yang bukan pengurangan atau pelunasan hutang luar negeri. Selaku Presdir, Setiawan juga telah menarik deposito miliknya di bank yang dikelolanya tersebut pada 17 Februari 1999 sebesar Rp 808,8 juta untuk membeli mobil bekas.
Berdasarkan Arsip Tempo News Room, penyelewengan dana BLBI dilakukan oleh Hendrawan yang sudah tidak menjabat sebagai direksi Bank Aspac sejak 1998. Hal ini bertentangan dengan Surat Bank Indonesia nomor 30/50/DIR/RUK tanggal 30 Desember 1997 yang menyebutkan bahwa bank penerima dana BLBI tidak diperkenankan menggunakan dana tersebut untuk berbagai keperluan. Meski begitu, pada 31 Maret 2000, Bank Aspac sudah membayar kewajiban hutangnya kepada BLBI sebesar Rp 204,2 miliar.
Di sisi lain, Bank Aspac masih memiliki saksi bisu prahara utang BLBI, yaitu Aspac Centre yang sekarang berganti nama menjadi Palm One. Gedung ini terletak di jalan Rasuna Said, Jakarta Pusat, dengan tinggi 14 lantai. Dulunya, gedung ini dibangun oleh Mitra Bangun Griya alias MBG yang merupakan salah satu anak perusahaan Aspac Group. Rencananya, gedung tersebut akan dijadikan kantor pusat Aspac Group, terutama Aspac Bank dan sempat ditempati selama lima tahun.
Ketika pemerintah resmi membekukan operasional Bank Aspac pada 1997, sengketa terhadap gedung ini dimulai. Pada Januari 1998, Aspac Group menjadikan gedung ini sebagai jaminan kepada Bank Indonesia untuk mendapatkan bantuan likuiditas BLBI. Sebulan kemudian, Bank Aspac masuk daftar restrukturisasi BLBI.
Akhir tahun 1998, Bank Aspac memberitahu MBG bahwasanya pemasukan lahan dan Gedung Bank Aspac tidak disetujui oleh Bank Indonesia. Akhirnya, pada Februari 1999 gedung Bank Aspac ini disita untuk melunaskan dana BLBI yang digelapkan oleh Harjono Bersaudara.
BLBI kemudian melelang aset sitaan pada 2003, termasuk gedung Bank Aspac. MBG menggugat BLBI ke PN Jakarta Selatan atas pelelangan ini, menurut pihaknya, perjanjian pemasukan lahan dan gedung bangunan MBG ke dalam aset Bank Aspac tersebut tidaklah sah. Namun BLBI tidak menggubris gugatan MBG tersebut.
BLBI mengumumkan pemenang lelang gedung bank Aspac adalah Bumi Jawa Sentosa di Januari 2007. Sekarang Gedung Aspac bernama Palma One itu dimiliki oleh Wana Mitra Permai. Tidak ada catatan pengambilalihan kepemilikan Palma One dari Bumi Jawa Sentosa ke Wana Mitra Permai.