Badan Pusat Statistik melaporkan inflasi Indonesia Juni 2022 mencapai 0,61 % secara bulanan atau 4,35 % secara tahunan. Angka tahunan tersebut melampaui batas inflasi Bank Indonesia untuk 2022, yaitu 3 % plus minus 1 %, sekaligus tertinggi sejak 2017 yakni 3,61 %.
Inflasi tidak hanya menghantam Tanah Air, data Tradingeconomics menunjukkan Venezuela adalah negara dengan laju inflasi tahunan tertinggi di dunia, yakni 222 % year on year (yoy). Harga barang di sana mengalami kenaikan lebih dari tiga kali lipat dalam setahun terakhir. Berikut perbandingan 10 negara dengan inflasi tahunan tertinggi, dilansir dari Databoks:
Sebelumnya, Indonesia pernah mengalami titik inflasi tertinggi pada awal Orde Baru, tepatnya pada 1966. Saat itu, level inflasi Tanah Air berada di level 635%. Alhasil, lonjakan kenaikan harga tersebut tak lagi disebut sebagai inflasi, melainkan hiperinflasi.
Boediono dalam buku berjudul Ekonomi Indonesia dalam Lintasan Sejarah menuliskan hiperinflasi sebagai keadaan di mana laju inflasi sangat tinggi, berada di angka 100 % atau lebih. Akibatnya, masyarakat akan kehilangan kepercayaan untuk memegang uang, lantaran tingginya kekhawatiran akan nilai uang semakin berkurang.
Gubernur Bank Indonesia Kendalikan Hiperinflasi
Selaku bank sentral, Bank Indonesia memiliki tanggung jawab menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Hiperinflasi yang terjadi awal Orde Baru turut menjadi tantangan yang dihadapi Gubernur Bank Indonesia era Presiden Soeharto, yakni Radius Prawiro.
Sebagai pemegang ujung tombak Bank Indonesia dari 1966 hingga 1973, Radius memulai upaya perbaikan ekonomi dengan mengubah UU Pokok Bank Indonesia. Dalam catatan Tirto, upaya perbaikan itu berhasil menekan hiperinflasi secara drastis dari 635 % pada 1966, menjadi 112,2 % pada 1967. Tren penurunan terus berlanjut ke level 85,1 % pada 1968.
Selama menjabat, Radius juga harus menghadapi masalah likuiditas, di mana masyarakat pada saat itu tidak mau menabung dan cenderung menyimpan kekayaan dalam bentuk perhiasan. Bukan tanpa alasan, masyarakat ketakutan akan kebijakan redenominasi dari nilai Rp 1000 menjadi Rp 1 yang sempat berlaku pada 1959.
Oleh sebab itu, Gubernur Bank Indonesia kelahiran Yogyakarta tersebut meluncurkan program Tabungan Pembangunan Nasional (Tabanas) dan Tabungan Asuransi Berjangka (Taska). Program tersebut disertai dengan iming-iming bunga 6 % per bulan dan uang dalam tabungan akan bebas dari pengusutan.
Berkat keberhasilan program tersebut, laju inflasi turun menjadi satu digit, tepatnya 2,5 % pada 1971. Jumlah uang yang beredar pun turun dari 765 % pada 1966 menjadi 33 % pada 1970. Atas jasanya, nama Radius Prawiro diabadikan sebagai nama salah satu gedung Bank Indonesia yang terletak di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat sejak 2015.
Selanjutnya, kepemimpinan Bank Indonesia periode 1973 hingga 1983 beralih ke Rachmat Saleh. Gubernur Bank Indonesia satu ini merupakan sosok yang patut diteladani. Terdapat lima pedoman profesionalitas, etika, dan moral yang rekat dengan Rachmat, yakni nasionalisme, kejujuran, kerja keras, dedikasi, serta konsisten menambah pengetahuan.
Arifin Siregar tercatat sebagai Gubernur Bank Indonesia kedelapan, untuk masa jabatan periode 1983 hingga 1988, menggantikan Rachmat Saleh. Dilansir dari Antara, Arifin memegang gelar PhD di bidang ekonomi dari Munster University, Jerman Barat pada 1960. Usai menamatkan pendidikan, pria asal Medan itu memulai karirnya di Jerman Barat sebagai seorang peneliti.
Sebelum menjadi Gubernur Bank Indonesia, dia memiliki perjalanan karir cukup panjang. Arifin sempat menjadi ekonom Biro Penelitian dan Kebijakan Ekonomi Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di Amerika Serikat.
Pada periode 1969-1971, dia sempat menjadi wakil Dana Moneter Internasional di Laos dan bertindak sebagai penasihat keuangan dan moneter untuk pemerintah Laos. Setelah itu, barulah dirinya kembali ke Indonesia untuk bekerja di Bank Indonesia. Butuh waktu 12 tahun bagi Arifin untuk menjadi orang nomor satu di Bank Sentral.
Pada 1988, pemimpin Bank Indonesia kesembilan beralih ke Adrianus Mooy. Pria kelahiran Pulau Rote itu, merupakan alumni Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada lulusan 1958. Dia juga meraih gelar profesor bidang ekonomi dari University of Wisconsin, Amerika Serikat pada 1987.
Salah satu kebijakan yang dilahirkan Bank Indonesia era Adrianus adalah paket Oktober 1988 (Pakto 88), yang berisi kebijakan ekonomi deregulasi perbankan. Melalui kebijakan tersebut, Bank Sentral menetapkan modal minimal untuk mendirikan bank swasta baru senilai Rp 10 miliar, dan untuk Bank Perkreditan Rakyat (BPR) sebesar Rp 50 juta. Hasilnya, bank baru menjamur dengan melakukan ekspansi pembukaan cabang.
Dalam buku Apa & Siapa Sejumlah Alumni UGM, Adrianus tercatat sebagai dosen di Universitas Indonesia, Perguruan Tinggi Ilmu Statistik, hingga mengajar di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Sesko Abri). Sebelum menjadi Gubernur Bank Indonesia, dia sempat menjadi Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional yang terlibat dalam penyusunan Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Setelah masa kepemimpinan Adrianus berakhir pada 1993, Gubernur Bank Indonesia era Orde Baru terakhir adalah Sudrajad Djiwandono. Sama seperti Adrianus, Sudrajad adalah alumnus Fakultas Ekonomi UGM dan memulai karirnya di Leknas. Dia juga sempat menjadi Menteri Muda Perdagangan pada 1988. Dalam catatan Tempo, jabatan tersebut diperolehnya berkat ajakan dari ekonom kawakan, Soemitro Djojohadikusumo.
Sekitar tiga bulan sebelum Presiden Soeharto turun, Sudrajad dipecat pada 11 Februari 1998. Kala itu, Indonesia dilanda krisis moneter yang melengserkan Soeharto dari tahta kepresidenan pada 21 Mei 1998.
Krisis Moneter dan Reformasi Ekonomi
Sepanjang 1998, nilai rupiah terdepresiasi lebih dari 70 % di mana puncaknya terjadi pada Juli 1998 di mana US$ 1 setara dengan Rp 14.700. Angka inflasi pun meningkat signifikan ke level 77,6 %. Reformasi di bidang ekonomi pun diberlakukan, tidak hanya di bidang politik.
Kala itu, pemerintah melahirkan Undang-Undang Keuangan Negara, Undang-Undang Perbankan, pemberian independensi Bank Indonesia, serta regulasi yang melarang pinjaman kepada bank atau perusahaan yang masih memiliki hubungan. Selain itu, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) berdasarkan Keputusan Presiden nomor 27 tahun 1998. Tujuannya adalah untuk melakukan penyehatan bank dan upaya pengembalian uang negara.
Posisi gubernur BI pun dialihkan ke Syahril Sabirin, yang sedang menjabat sebagai ekonom finansial senior di Bank Dunia, Washington DC. Pada kepemimpinannya lah pecahan Rp 100.000 pertama kali diterbitkan, tepatnya pada 1 November 1999.
Setelah Syahril menyelesaikan masa jabatan pada 2003, Burhanuddin Abdullah naik menjadi gubernur BI ke-12. Karirnya di BI sudah dimulai pada 1994 sebagai Kepala Bagian Kerjasama Ekonomi dan Perdagangan Internasional. Ia bekerja untuk BI hingga 2001, sebagai deputi gubernur sebelum diangkat menjadi Menteri Koordinator Perekonomian oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Jabatan gubernur BI ia selesaikan hingga 2008.
Tampuk kekuasaan bank sentral kemudian dipegang oleh Boediono, pemegang gelar Ph.D bidang ekonomi dari Wharton School, Universitas Pennsylvania Amerika Serikat. Ia dikenal sebagai menteri keuangan pada kepemimpinan Presiden Megawati yang berhasil membawa Indonesia lepas dari bantuan IMF dan menstabilkan nilai kurs rupiah pasca krisis moneter 1998 di angka Rp 9.000 per satu dolar AS. Adapun ia adalah kandidat tunggal untuk maju ke kursi gubernur Bank Indonesia yang diusulkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kala itu.
Karena Boediono maju sebagai calon wakil presiden SBY di pemilu 2009, Miranda Gultom mengambil alih posisi sebagai Pejabat Pelaksana Tugas Harian Gubernur BI. Jabatan Miranda sebelumnya adalah deputi senior Bank Indonesia.
Darmin Nasution diangkat menjadi Gubernur Bank Indonesia ke-14 pada 1 September 2010 hingga 2013. Sama seperti Miranda, Darmin dulunya adalah deputi senior gubernur Bank Indonesia dan menjadi Pejabat Pelaksana Tugas Harian Gubernur BI.
Selanjutnya, Agus Martowardojo diangkat sebagai Gubernur BI periode 2013 hingga 2018. Di bawah kepemimpinannya lah Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) pertama kali muncul, seiring dengan penggunaan uang elektronik di jalan tol. BI Institute juga baru hadir pada masa ini, sebagai lembaga edukasi ekonomi untuk berbagai pihak.
Sejak 2018 hingga sekarang, posisi orang nomor satu Bank Indonesia dihuni oleh Perry Warjiyo. Sepak terjangnya di Bank Sentral tidaklah singkat, yakni sejak 1984 di area riset hingga menjadi Biro Gubernur. Perry lalu melebarkan sayap karirnya ke IMF pada 2007 hingga 2009. Di sana, dia menjabat sebagai direktur eksekutif mewakili 13 negara anggota South-East Asia Voting Group.
Singkat cerita, Perry kembali ke Bank Indonesia pada 2009 dan menjadi asisten Gubernur BI. Pada 2013, dia terpilih sebagai Deputi Gubernur, setelah dicalonkan empat tahun berturut-turut. Sembari bekerja di BI, Perry mengajar di Pascasarjana bidang Ekonomi Moneter dan Ekonomi Keuangan Internasional, Universitas Indonesia.