Analis: E-Commerce hingga Fintech Topang Saham Telekomunikasi di 2020

ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman
Ilustrasi, teknisi XL Axiata melakukan pemeliharaan perangkat Base Transceiver Station (BTS) di lokasi tower di Nawangkewa, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT), Minggu (27/10/2019).
10/12/2019, 16.16 WIB

Direktur dan Kepala Riset Indonesia PT Citigroup Sekuritas Indonesia Ferry Wong memperkirakan, harga saham emiten sektor telekomunikasi cemerlang tahun depan. Sebab, industri berbasis digital seperti e-commerce hingga teknologi finansial (fintech) diproyeksi terus berkembang.

Perkembangan pada industri digital itu akan menjadi katalis positif bagi saham emiten sektor telekomunikasi. “Telekomunikasi masih akan oke (tahun depan),” kata Ferry di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, hari ini (10/12).

Layanan berbasis digital membutuhkan produk telekomunikasi seperti internet yang baik. “Ada penetrasi e-commerce, digitalisasi, video streaming, dan iklan semua pakai internet," kata dia.

Selain telekomunikasi, saham emiten di sektor perbankan, semen, dan rokok masih akan menghijau tahun depan. Ferry menilai kenaikan cukai rokok tidak akan berdampak signifikan terhadap kinerja produsen tahun depan.

"Rokok masih bagus, walaupun ada isu cukai tapi harganya sudah turun jauh. Saya rasa volume pertumbuhan tidak akan turun seperti ekspektasi," kata dia.

(Baca: Pertumbuhan Konsumsi Data Jadi Beban Operator Telekomunikasi)

Secara keseluruhan, Ferry mengungkapkan bahwa kondisi politik yang stabil akan berdampak positif terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Apalagi, Prabowo Subianto masuk kabinet Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Selain itu, pasar memperkirakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump bakal mengalah kepada Tiongkok terkait perang dagang pada tahun depan. Analis memproyeksikan, Trump akan lebih tenang dan tidak banyak mengambil sikap dalam negosiasi perdagangan, karena memasuki masa pemilihan presiden (Pilpres).

"Pada 2020 sentimen domestik cukup postif karena adanya konsolidasi politik. Sedangkan AS pemilu pada 2020, dan Trump akan ambil sikap mengalah pada Tiongkok. Jadi outlook nya akan lebih baik," kata dia.

(Baca: IHSG Berpotensi Menguat, Saham Telekomunikasi BUMN Jadi Rekomendasi)

Sebelumnya, Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI) mencatat, rerata penggunaan data pada 2014 hanya 0,3 giga byte (GB) per bulan. Angka itu tumbuh menjadi 3,5 GB per bulan pada 2018. Tahun ini, estimasi konsumsi data di Indonesia mencapai 4,8 GB dan meningkat terus menjadi 6 GB pada 2021.

"Harga layanan data Indonesia yang termurah di dunia. Hanya sedikit di atas India," ujar Ketua ATSI Ririek Adriansyah pada Januari lalu (17/1).

Padahal untuk memenuhi permintaan layanan data yang naik 3,5 kali lipat dalam lima tahun ke depan, maka perlu tambahan modal. "Kami perlu investasi untuk menambah kapasitas," ujar Ririek.

Ketua Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL) Kristiono juga menyebutkan, bahwa harga layanan data di Indonesia justru menurun dari Rp 1 per kilobyte (kb) pada 2010 menjadi Rp 0,015 per kb pada 2018.  "Harga turun 40% per Mega Byte (MB). Ini yang jadi masalah," ujarnya.

Murahnya tarif layanan data itu, kata dia, menguntungkan perusahaan digital yang penggunaan produknya lebih banyak menggunakan kuota data. "E-commerce tumbuh di tengah infrastrukturnya, yakni telekomunikasi yang menurun. Jadi seperti benalu saja," kata dia.

(Baca: Mastel Soroti Masalah Aturan Tak Batasi Data Disimpan di Luar Negeri)

Reporter: Fariha Sulmaihati