Kena Sanksi, Garuda Bantah Laporan Keuangannya Tak Sesuai Prosedur

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) akan mempelajari lebih lanjut hasil pemeriksaan Kementerian Keuangan dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) atas sanksi-sanksi yang diberikan kepada perusahaan terkait Laporan Keuangan Perusahaan tahun 2018.
Penulis: Ihya Ulum Aldin
Editor: Sorta Tobing
28/6/2019, 13.00 WIB

PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) akan mempelajari lebih lanjut hasil pemeriksaan dan sanksi-sanksi yang diberikan Kementerian Keuangan dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait laporan keuangan 2018 perusahaan.

"Kami menghormati pendapat regulator dan perbedaan penafsiran atas laporan keuangan tersebut. Namun kami akan mempelajari hasil pemeriksaan tersebut lebih lanjut," kata Sekretaris Perusahaan Garuda Ikhsan Rosan melalui siaran resmi, Jumat (28/6). 

Salah satu kejanggalan dalam laporan keuangan 2018 Garuda, terkait kerja sama antara anak usaha Garuda,  PT Citilink Indonesia dengan PT Mahata Aero Teknologi (Mahata). Namun, Ikhsan mengatakan, kontrak ini baru berjalan delapan bulan dan semua pencatatan telah sesuai ketentuan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) yang berlaku dan tidak ada aturan yang dilanggar.

Dia memastikan, dari total yang harus dibayarkan oleh Mahata sebesar US$ 239,94 juta atau Rp 3,38 triliun, Mahata dan mitra barunya telah memberikan komitmen pembayaran secara tertulis dan disaksikan oleh notaris, sebesar US$ 30 juta atau setara Rp 423 miliar (kurs: Rp 14.100 per US$). Waktu pembayarannya dilakukan pada bulan Juli nanti atau dalam waktu yang lebih cepat.

Sementara, sisa kewajiban akan dibayarkan ke Garuda Indonesia dalam waktu tiga tahun. Dalam kurun waktu tersebut, akan dicover dengan jaminan pembayaran dalam bentuk Stand by Letter Credit (SBLC) dan atau Bank Garansi bank terkemuka.

(Baca: OJK Beri Sanksi Denda dan Penyajian Ulang Lapkeu 2018 ke Garuda)

Ikhsan memastikan, dalam mengelola perusahaan, manajemen Garuda Indonesia telah melaksanakan sesuai dengan kaidah GCG dan seluruh aturan yang berlaku. Mereka pun percaya kepada Kantor Akuntan Publik (KAP) Tanubrata Sutanto Tanubrata Fahmi Bambang & Rekan telah melakukan proses audit sesuai dengan PSAK dan mengacu pada asas profesionalisme.

"Tidak ada sama sekali campur tangan dari pihak manapun untuk mengarahkan hasil pada tujuan tertentu," kata Ikhsan.

Sri Mulyani Jatuhkan Sanksi untuk Auditor Garuda

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menjatuhkan sanksi kepada akuntan publik Kasner Sirumapea dan Kantor Akuntan Publik (KAP) Tanubrata, Sutanto, Fahmi, Bambang & Rekan selaku auditor laporan keuangan 2018 PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk.

Sri Mulyani melalui Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (P2PK) menjatuhkan sanksi kepada KAP berupa peringatan tertulis dengan disertai kewajiban untuk melakukan perbaikan terhadap Sistem Pengendalian Mutu KAP dan dilakukan review oleh BDO International Limited. Dasar pengenaan sanksi yaitu UU Nomor 5 tahun 2011 dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 154/PMK.01/2017.

Selain itu, OJK turut memberikan sanksi berupa perintah tertulis kepada KAP untuk melakukan perbaikan kebijakan dan prosedur pengendalian mutu paling lambat 3 (tiga) bulan setelah ditetapkannya surat perintah dan OJK. OJK mengenakan saksi tersebit atas pelanggaran Peraturan OJK Nomor 13/POJK.O3/2017.

(Baca: BEI Soroti Kontrak Garuda - Mahata yang Tanpa Rincian Waktu Pembayaran)

Tidak hanya KAP, Sri Mulyani juga memberikan sanksi pembekuan izin selama 12 bulan terhadap Kasner Sirumapea, yang mengaudit laporan keuangan tersebut. Kasner terbukti melakukan pelanggaran berat yang berpotensi berpengaruh signifikan terhadap opini Laporan Auditor Independen (LAI). Pengenaan saksi ini melalui KMK No.312/KM.1/2019 tanggal 27 Juni 2019.

Sementara, OJK memberikan sanksi administratif kepada Kasner berupa Pembekuan Surat Tanda Terdaftar (STTD) selama satu tahun. Dia dikenakan sanksi atas pelanggaran Peraturan OJK Nomor 13 tahun 2017, termasuk Standar Audit (SA) 315 Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP).

Sekretaris Jenderal Kemenkeu Hadiyanto mengatakan, alasan pengenaan sanksi kepada KAP Tanubrata, Sutanto, Fahmi, Bambang & Rekan karena mereka belum menerapkan Sistem Pengendalian Mutu KAP secara optimal terkait konsultasi dengan pihak eksternal.

Sementara, Kasner dikenakan sanksi karena dianggap belum sepenuhnya mematuhi Standar Audit (SA) - Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP). "Yaitu SA 315 Pengidentifikasian dan Penilaian Risiko Kesalahan Penyajian Material Melalui Pemahaman atas Entitas dan Lingkungannya, SA 500 Bukti Audit, dan SA 560 Peristiwa Kemudian," kata Hadiyanto di kantornya, Jakarta, Jumat (28/6). 

(Baca: Sri Mulyani: Ada Kejanggalan pada Laporan Keuangan Garuda Indonesia)

Target GATF Surabaya (ANTARA FOTO/Moch Asim)

Laporan Keuangan 2018 Garuda Dinilai Janggal

Kejanggalan laporan keuangan yang diaudit oleh KAP Tanubrata Sutanto Fahmi Bambang dan Rekan awalnya tercium oleh dua Komisaris Garuda, Chairal Tanjung dan Dony Oskaria (per 24 April 2019, Dony sudah tidak menjabat sebagai Komisaris Garuda). Mereka menyoroti pencatatan akuntansi pada laporan kinerja keuangan perusahaan tahun buku 2018.

Mereka menilai, seharusnya Garuda Indonesia mencatatkan rugi tahun berjalan senilai US$ 244,95 juta atau setara Rp 3,45 triliun (kurs: Rp 14.100 per dolar AS). Namun, di dalam laporan keuangan 2018 malah tercatat memiliki laba tahun berjalan senilai US$ 5,01 juta setara Rp 70,76 miliar.

Keberatan mereka didasarkan pada perjanjian kerja sama penyediaan layanan konektivitas dalam penerbangan yang ditandatangani oleh Citilink dengan Mahata. Menurut mereka pendapatan dari Mahaka yang sebesar US$ 239,94 juta atau Rp 3,38 triliun tidak dapat diakui dalam tahun buku 2018.

Tidak hanya dua komisaris tersebut saja yang merasa janggal, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bahkan pernah menegaskan memang ada kejanggalan mengenai standar audit laporan keuangan Garuda yang tengah menjadi polemik.

"Sekarang, setelah pertemuan dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kami sepakat menetapkan bahwa memang ada kejanggalan pada standar audit keuangan Garuda," ucap dia di kantornya, Jakarta, pada Jumat pekan lalu.

(Baca: Ada Indikasi Penyimpangan Lapkeu Garuda, Kemenkeu Kaji Sanksi Auditor)

Selain itu, Bursa Efek Indonesia (BEI) mengakui adanya kejanggalan dalam kontrak antara Citilink dengan Mahata, sehingga mereka menjadikan kontrak tersebut sebagai salah satu pertimbangan dalam mengambil keputusan. Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna mengatakan, dalam kontrak yang diteken pada Oktober 2018 tersebut diatur bagaimana Mahata wajib memenuhi secara pembayaran penuh kepada Garuda.

Adapun Garuda wajib menerima pembayaran atas hak yang diberikan kepada Mahata untuk pemasangan perangkat. "(Tapi) tidak ada hal yang detail diatur (dalam kontrak), once para pihak tidak menjalankan kewajibannya," kata Nyoman di Gedung BEI, Jakarta, pada Rabu lalu.

Nyoman pun mengatakan, jika tidak ada perincian lebih detail mengenai waktu pembayaran, maka bisa saja pembayaran itu dapat dilakukan 15 tahun kemudian. Padahal, nilainya sudah dimasukkan sebagai pendapatan sejak Laporan Keuangan Garuda 2018. "Iya, betul (tidak ada rincian soal pembayaran), itu juga yang sudah kami pertanyakan," katanya.

(Baca: Hasil Audit Dinilai Janggal, Lapkeu 2018 Garuda Perlu Disajikan Ulang)

Berdasarkan dokumen yang didapatkan oleh awak media tertanggal 2 April 2019, kedua komisaris Garuda juga menilai, tidak ada pembayaran yang telah dilakukan oleh Mahata meskipun telah terpasang satu unit alat Wi-Fi di Citilink. Bahkan dalam perjanjian dengan Mahata, tidak tercantum "term of payment" karena pada saat itu masih dinegosiasikan cara pembayarannya.

Selain itu, menurut Chairal dan Dony, sampai saat ini tidak ada jaminan pembayaran yang tidak dapat ditarik kembali (seperti Bank Garansi atau instrumen keuangan yang setara) dari pihak Mahata kepada Garuda Indonesia. Padahal jaminan pembayaran tersebut merupakan instrumen yang menunjukkan kapasitas Mahata sebagai perusahaan yang bankable. Mahata hanya memberikan Surat Pernyataan Komitmen Pembayaran Biaya Kompensasi.

Dalam Perjanjian Mahata juga terdapat pasal pengakhiran yang menyatakan Citilink dapat mengakhiri sewaktu waktu dengan alasan bisnis. Padahal menurut Penyataan Standar Akutansi Keuangan (PSAK) nomor 23, dapat diterimanya pendapatan harus diukur dengan pendapatan tetap atau jaminan yang tidak dapat dikembalikan dalam suatu kontrak yang tidak dapat dibatalkan.

Reporter: Ihya Ulum Aldin