Para pelaku pasar modal mengungkapkan sederet persoalan yang dihadapinya kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), di antaranya tentang tingginya pungutan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Mereka pun meminta DPR memilih komisioner OJK yang memahami betul kondisi pasar modal sehingga kebijakannya tidak membebani pelaku pasar.
Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia (APEI) Lily Widjaja mengatakan, pungutan OJK memberatkan perusahaan efek lantaran perhitungannya berdasarkan pendapatan, bukam bottom line atau laba bersih. Selain itu, pungutan tersebut juga terkesan berganda, lantaran perusahaan efek juga membayarkan pungutan kepada Bursa Efek Indonesia (BEI).
"Kami sarankan agar ada policy (kebijakan) satu pintu. Sekarang ini kesannya ganda, ada disini, OJK, Bursa Efek Indonesia (BEI), padahal kami sudah bayar transaksi di bursa," kata Lily saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi Keuangan DPR terkait seleksi Dewan Komisioner OJK di Gedung DPR, Jakarta, Senin (29/5). (Baca juga: 14 Calon OJK Pilihan Jokowi, Wimboh dan Sigit Berebut Posisi Ketua)
Tak hanya Lily, Ketua Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) Franciscus Welirang juga mengeluhkan hal yang sama. Dia berharap pimpinan baru OJK bakal menurunkan besaran pungutan. Apalagi, biaya yang harus dikeluarkan oleh emiten cukup besar. Ia juga menyoroti pungutan yang tidak mempertimbangkan sektor bisnis emiten: keuangan atau nonkeuangan.
Hal senada juga disampaikan perwakilan Asosiasi Dana Pensiun Indonesia (ADPI). Dalam ketentuan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2014, lembaga jasa keuangan dibebankan biaya tahunan sebesar 0,02-1,2 persen dari aset masing-masing jenis lembaga. Selain biaya tahunan, OJK juga menetapkan pungutan untuk biaya perizinan, persetujuan, pendaftaran dan pengesahan, serta pungutan untuk biaya penelaahan rencana aksi korporasi.
Selain persoalan pungutan, Lily menyebut adanya persoalan persaingan yang tidak sehat antar-perusahaan efek yang juga perlu segera ditangani oleh Dewan Komisioner OJK. Ia menduga, persaingan tak sehat menyebabkan tarif jasa komisi turun sehingga kinerja keuangan mayoritas perusahaan efek merosot. Dari hasil kajian APEI, sepanjang 2012-2014, sekitar 83 persen perusahaan efek mengalami kerugian dari pendapatan komisi murni.
Ia mengaku sudah mendiskusikan persoalan tarif komisi tersebut dengan OJK, namun Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menilai penetapan tarif minimum komisi sebagai tindakan yang melanggar aturan. "Padahal bukan untuk menetapkan minimum komisi, tetapi bagaimana tarif yang sehat antar-perusahaan efek," ujar Lily.
Selain itu, ia juga mengeluhkan soal aturan yang membatasi pembiayaan oleh perusahaan efek maksimal 25 persen dari modal disetor. Ia menyebut aturan tersebut diskriminatif. Hal lain yang juga dikeluhkan Lily adalah tentang besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk alokasi biaya bersama (joint cost alocation), khususnya dalam hal perpajakan. Soal yang terakhir, menurut Lily, Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Ken Dwijugiasteadi telah mengakui adanya kesalahan penerapan aturan pajak di lapangan terkait hal ini.
Adapun hal lain yang disoroti Franciscus adalah terkait peran OJK. Menurut dia, Dewan Komisioner OJK harus mengerti perbedaan peran sebagai penguasa dan pengawas. Dia mencontohkan, proses pemilihan komisaris BEI oleh OJK. Padahal, BEI merupakan perseroan terbatas (PT). Pemilihan komisaris seharusnya melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
"Artinya, kekuasaan OJK itu mengikuti aturan dan Undang-Undang (UU) yang ada. Jangan dilanggar seperti apa yang berjalan hari ini, seperti BEI yang merupakan PT, punya pemegang saham tapi komisarisnya ditetapkan oleh OJK," ujar dia. (Baca juga: Calon Kuat Anggota OJK Berguguran, Pansel Soroti Soal Integritas)