Komisi Keuangan (Komisi XI) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan skema penyelamatan Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri. Penyelamatan asuransi tertua di Indonesia ini harus melibatkan seluruh pihak terkait, seperti Badan Perwakilan Anggota (BPA), Pengelola Statuter dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), direksi non-aktif, pemerintah, termasuk juga DPR.
Anggota Komisi XI Johnny G. Plate melihat skema penyelamatan Bumiputera ini masih menimbulkan berbagai gesekan, terutama antara pengelola statuter dengan BPA. Karena itu, dia meminta agar seluruh pihak terkait bisa duduk bersama untuk menyusun peta jalan (roadmap) penyelamatan Bumiputera ini agar menguntungkan semua pihak.
(Baca: Selidiki Masalah Bumiputera, Komisi Keuangan DPR Bentuk Panja)
"Permintaannya DPR kesepakatan itu, roadmap-nya, disepakati antara pengelola statuter dengan BPA.. Untuk itu kami minta bangunlah saling percaya dan kerja sama antara pengelola statuter, BPA, dan direksi non-aktif," ujar Johnny di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Kamis (20/4).
Ia menjelaskan, rapat Panitia Kerja (Panja) Bumiputera bersama dengan BPA dan jajaran direksi non-aktif di Gedung MPR/DPR, Kamis ini (20/4), menemukan persoalan ketidaksetujuan BPA terhadap keputusan-keputusan pengelola statuter. Johnny mencontohkan, BPA masih belum bisa menerima hitungan besaran kerugian yang diderita Bumiputera.
Selain itu, BPA juga tidak sepakat dengan penghitungan aset yang dilakukan pengelola statuter, baik aset fisik, maupun, non-fisik. "Misalnya ada 28 ribu karyawan, dididik dengan biaya paling tidak Rp 10 juta per orang jadi sudah Rp 2,8 triliun lebih. Tapi dinilai hanya Rp 40 miliar, itu terlalu kecil dianggapnya," ujar Johnny. Jadi, DPR berencana segera memanggil pengelola statuter untuk meminta pandangan guna menyelesaikan permasalahan tersebut.
(Baca: Dipertanyakan DPR, Sri Mulyani Tak Mau Bail Out Bumiputera)
Secara umum, Johnny mengatakan, masalah yang dialami Bumiputera ini sangat besar. Terdapat perbedaan antara kewajiban jangka panjang dengan aset yang dimiliki. Aset Bumiputera saat ini minus Rp 20 triliun. Sebabnya, premi yang diterima per hari hanya Rp 20 miliar. Padahal, kewajiban pembayaran klaim sekitar Rp 40 miliar per hari.
Meski begitu, Johnny mengatakan, sampai saat ini Bumiputera masih belum mengalami gagal bayar kewajibannya. Dana yang dimiliki masih bisa menutupi klaim yang diajukan pemegang polis.
Namun, dia meminta upaya penyelamatan ini harus segera dilakukan karena jangan menjadi bom waktu kalau terjadi gagal bayar. Untuk itu, skema penyelamatan Bumiputera harus segera dirampungkan.
Beberapa skema penyelamatan yang pernah digadang-gadang seperti penjualan saham perdana ke publik atau Initial Public Offering (IPO) dan divestasi. Namun, skema itu masih belum dijalankan dan harus kembali dipikirkan secara matang. Salah satu alasannya, perusahaan yang masuk ke bursa saham adalah perusahaan yang memiliki keuntungan.
Selain itu, Johnny mengatakan, BPA memiiki masalah dengan pengelola statuter dari OJK. Menurut pengakuan mereka, pengelola statuter ini berlawanan dengan hukum dan justru membuat keadaan Bumiputera semakin terpuruk.
(Baca: Biayai Bumiputera, Evergreen Hidupkan Lagi Rights Issue Jumbo)
Namun, memang saat ini Indonesia belum memiliki Undang-Undang (UU) terkait mutual insurance seperti Bumiputera ini. "Saat ini tidak ada satupun aturan yang mereferensi terkait dengan mutual insurance. Ini mutual insurance ini, AJB ini sudah 100 tahun lebih, tapi kita belum punya," ujarnya.
Dengan demikian, Johnny mengatakan, pengelola statuter OJK tersebut membawahi produk-produk yang dikeluarkan asuransi, bukan membawahi mutual insurance-nya itu sendiri yakni Bumiputera.
Ke depan, DPR akan mendorong pemerintah untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) terkait mutual insurance ini agar memiliki dasar hukum yang kuat.